Pages

Minggu, 09 Maret 2014

Fiqih Nikah



ضَوْءُ الْمِصْبَاحِ فِيْ بَيَانِ اَحْكَامِ النِّكَاحِ
Karya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari
(Pendiri Nahdlatul Ulama)

Mukadimah
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah bagi penghulu para rasul, yakni Sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya secara menyeluruh.
Kemudian, ini adalah risalah (makalah, artikel) tentang hukum-hukum pernikahan. Yang mendorongku untuk menuliskan risalah ini adalah karena mayoritas orang-orang yang menghendaki atau mau menuju pernikahan dari kalangan awam negeriku (Indonesia) tidak mempelajari rukun-rukun, syarat-syarat, dan etika pernikahan, padahal mempelajari hal tersebut adalah wajib.
Kemudian saya renungkan faktor penyebab mengapa mereka tidak mempelajari rukun, syarat, dan etika pernikahan tersebut. Ternyata sebabnya adalah karena bab atau pasal pernikahan itu terdapat di dalam kitab-kitab yang besar-besar (berjilid-jilid), karenanya mereka menjadi malas untuk bersemangat mempelajarinya. 
Aku bermaksud menyebutkan  rukun, syarat, dan etika pernikahan itu dalam risalah ini agar orang-orang yang menghendaki pernikahan (orang-orang awam yang mau menikah) mudah memperoleh penjelasan tentang hal tersebut.
Risalah ini kunamai dengan ضَوْءُ الْمِصْبَاحِ فِيْ بَيَانِ اَحْكَامِ النِّكَاحِ  (Kejelasan Lentera Tentang Hukum-Hukum pernikahan). Risalah ini saya  urutkan menjadi dua bab beserta satu penutup.
Saya berharap bagi siapa saja yang melihat adanya cacat, kekurangan, ataupun kekeliruan dalam risalah ini agar sudi mengingatkan, karena manusia itu tempat salah dan lupa. Tiadalah penolongku melainkan Allah azza wajalla, pada-Nya saya bertawakal, dan pada-Nya pula saya kembali.
















Bab Pertama
Tentang Hukum Pernikahan

Tentang hal ini ada beberapa persoalan.
Pertama, Imam Ruknuddin Abu Al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Haywih As-Sinsibi Al-Juwainy, yang dikenal sebagai Al-Haramain (419 H/1028 M-478 H/1085 M) menjelaskan bahwa pernikahan itu terkategori sebagai bagian syahwat, bukan kategori ibadah atau al-qurubat. Tentang nikah sebagai syahwat ini, Imam Muhamad bin Idris As-Syafi’i ( 150 H/767 M-204 H/820 M) mengisyaratkan dalam kitab Al-Umm dengan redaksi sebagai berikut:
Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14.
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# ÇÊÍÈ  
Artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita....
Dalam hadits juga disebutkan
حبب إلي من دنياكم: النساء والطيب, وجعلت قرة عيني في الصلاة
Artinya, “Telah dijadikan aku menyukai bagian dari dunia kalian, yaitu mencinta istri dan wewangian. Dan dijadikan sebagai penenang hatiku di dalam shalat”.
Melestarikan keturunan  adalah sesuatu yang bersifat dugaaan, apalagi juga tidak bisa diketahui apakah keturunan itu menjadi orang yang baik ataukah jahat.
Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi (631 H-676 H) berkata: “Jika dengan menikah seseorang bermaksud menjalankan ketaatan seperti mengikuti sunnah atau memperoleh keturunan atau menjaga kehormatannya, atau menjaga pandangan matanya, maka pernikahan itu terkategori amal akhirat yang berpahala.”
Kedua, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzabadi as-Syirazi (393 H/1003 M-476 H/1038 M) dalam kitab Al-Muhadzdzab berkata: Nikah itu hukumnya boleh, karena ia untuk memperoleh atau mencari kelezatan (kenikmatan) yang dengannya nafsu itu menjadi sabar. Tetapi nikah itu tidaklah wajib, karena ia sebagaimana memakai pakaian yang halus, dan mengonsumsi makanan yang lezat.
Terkadang nikah itu disunnahkan, misalnya bagi seseorang yang dirinya punya keinginan kuat untuk berhubungan seksual dan ia mampu membayar mahar dan nafkah keluarga.
Bagi seorang yang belum punya keinginaan kuat untuk berhubungan seksual, maka disunnahkan baginya agar tidak menikah dahulu, karena ia akan dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban pernikahan yang mana dia tidak membutuhkan pemenuhannya. Justru tersebab pernikahan itu ia menghajatkan kesibukan yang dapat memalingkan dari ibadah.
Sehingga, ketika seseorang memilih untuk tidak menikah, maka ia dapat berkonsentrasi penuh ibadah. Dan dengan demikian, meninggalkan pernikahan itu lebih menyelamatkan keagamaannya.
Abdullah bin al-Hijazy bin Ibrahim As-Syarqawy (1150 H/1738 M-1227 H/1812 M) dalam Hasyiah ‘ala At-Tahrir menyatakan bahwa terkadang nikah itu menjadi wajib, misalnya dalam kondisi ketika pernikahan itu secara nyata menjadi jalan atau sarana untuk mencegah perzinahan atau seseorang mencerai istri yang masih mempunyai hak dalam pembagian waktu (bagi suami yang mempunyai lebih dari satu istri,  maka ia wajib membagi waktunya bersama para istri secara adil).
Terkadang pernikahan itu terkategori khilaful awla atau menyalahi keutamaan, misalnya bagi orang yang sudah sangat ingin menikah namun ia minim atau tidak punya biaya pernikahan. Dalam kondisi demikian ia hendaknya menahan hasratnya itu dengan terapi puasa. Jika puasa itu belum mampu memecah syahwat keinginan menikah, ia tetap tidak boleh memecah syahwatnya dengan kapur kapur atau yang sejenis, tetapi hendaknya ia menikah dengan tujuan menjaga diri.
Terkadang pernikahan itu dihukumi makruh, misalnya bagi seseorang yang tidak atau belum menginginkan pernikahan dan ia minim atau tidak punya biaya pernikahan. Atau ia punya biaya pernikahan, tetapi ia mempunyai penyakit semacam pikun, atau lemah syahwat.
Adakalanya pernikahan itu dihukumi haram, misalnya menikahi perempuan yang memang haram untuk dinikahi.
Ketiga, seseorang disunnahkan untuk tidak menikah kecuali dengan perempuan yang mempunyai akhlak keagamaan (dzata din), berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تنكح المرأة لاربع : لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Perempuan itu dinikahi karena empat alasan, karena hartanya, kedudukan atau derajat pangkatnya, kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, niscaya kedua tanganmu selamat.”

Yang dimaksud orang yang layak mendapat predikat dzati din dan mempunyai kehormatan (muruah)  adalah ketika  agama menjadi pusat pandangannya dalam segala hal, apalagi dalam pernikahan yang seseorang di dalamnya berinteraksi dalam jangka waktu yang lama.
Karena itulah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam memerintahkan kita untuk menikahi perempuan yang mempunyai komitmen agama yang baik, yang hal demikian itu adalah puncak tujuan.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn ‘Amr dan Ibn Majah dan merupakan hadits marfu’ (hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah), Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menikahi perempuan karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya itu merusakkan, tetapi menikahlah dengan yang mempunyai akhlak agama. Sungguh budak perempuan yang hitam, juga putus telinganya dan mempunyai agama (dzati din) itu lebih utama daripada perempuan cantik tetapi tidak beragama.
Hendaknya juga seseorang tidak menikah kecuali dengan perempuan yang mempunyai akal (dzati aqlin). Karena maksud utama pernikahan itu adalah bergaul secara baik dan hidup yang nyaman, dan hal itu tidak akan tergapai kecuali hidup bersama perempuan yang mempunyai intelegensia atau akal budi.
Keempat, disunnahkan hendaknya calon istri adalah seorang gadis atau perawan, kecuali karena ada halangan (udzur), misalnya seorang lelaki  yang alat kelaminnya tidak mampu atau lemah untuk merobek keperawanan, atau karena membutuhkan istri yang akan mengatur keluarga sebagaimana terjadi pada seorang sahabat nabi, Jabir ibn Abdullah.
Disunnahkan pula hendaknya calon istri kita adalah seorang yang memiliki nasab yang baik, bukan anak hasil perzinahan, bukan pula anak seorang yang fasik (termasuk dalam kategori ini adalah perempuan temuan dan perempuan yang tidak diketahui keberadaan ayahnya).
Hendaknya calon istri sekufu atau sepadan dengan calon suami, hal ini sesuai dengan hadits marfu’ Sayyidatina ‘Aisyah yang diriwayatkan dan disahihkan oleh Al-Hakim.
تخيروا لنطفكم ولا تضعوها فى غير الأكفاء . صحح الحاكم
Pilihlah bagi keturunan kalian, dan menikahlah dengan perempuan yang sekufu.
Hendaklah calon istri adalah seorang yang mempunyai potensi banyak anak (al-walud), dan hal itu dapat diketahui dari kerabat dekat sang perawan atau calon istri tersebut.
Hendaklah calon istri adalah seorang yang banyak punya sifat kasih sayang (penyayang; romantis), sesuai dengan hadits berikut ini:
تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Menikahlah dengan seorang yang punya anak banyak, juga penyayang. Sungguh dengan perantaraan kalian aku akan membanggakan dan memperbanyak umat di hari kiamat.
Hendaknya juga menikah dengan perempuan yang sudah baligh, kecuali karena ada hajat tertentu.
Hendaknya pula menikah dengan perempuan yang maharnya sedikit.
Hendaknya jangan menikah dengan perempuan yang dicerai oleh suami yang masih mencintainya, atau perempuan yang masih mencintai suami yang mencerainya.
Hendaknya jangan menikah dengan perempuan yang mempunyai kekerabatan yang dekat, melainkan hendaknya menikah dengan perempuan yang bukan mahram (ajnabiyah), atau yang mempunyai kekerabatan yang jauh.
Kelima, disunnahkan agar seseorang itu tidak menikah kecuali dengan orang yang ia anggap bagus atau patut untuk dicintai atau dinikahi. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm bahwasanya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perempuan itu sebagaimana permainan, karena itu ketika salah seorang kalian mengambil permainan, maka hendaknya ia mengambil yang terbaik (yang dianggap pantas dan bagus).”
Keenam, jika seseorang hendak menikahi perempuan, maka ia disunnahkan untuk melihat paras wajahnya, juga kedua  telapak tangannya. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya sungguh ada seorang lelaki yang hendak menikah dengan perempuan Anshar, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Lihatlah wajahnya, karena pada mata orang Anshar itu ada sesuatu.”
Hendaknya ia tidak melihat kecuali pada wajah dan kedua telapak tangannya. Suatu kemestian agar ia melihat perempuan itu secara halal, yaitu dengan keyakinan bahwa perempuan itu bebas dari ikatan pernikahan, dan ia bukan perempuan yang sedang dalam masa tunggu atau ‘iddah.
Hendaknya ia juga punya kuat sangkaan bahwa lamaran pernikahannya tidak ditolak.
Disunnahkan bagi laki-laki  yang kesulitan untuk dapat melihat perempuan, agar ia menyuruh perempuan lain agar dapat mendeteksi karakter perempuan yang akan dinikahi. Sebaliknya, disunnahkan bagi perempuan ketika ia berkehendak untuk menikah dengan seorang lelaki agar ia juga melihat terlebih dahulu lelaki tersebut. Karena sesuatu (keindahan fisik dan karakter) yang dapat membuat kagum seorang perempuan juga dapat membuat kagum seorang lelaki. Karena itulah ‘Umar ibn Khattab pernah berkata:
“Janganlah menikahkan para anak-anak perempuan kalian dengan lelaki yang buruk rupa, karena sesuatu (daya tarik) yang dapat membuat kagum seorang perempuan juga dapat membuat kagum seorang lelaki.”
Ketujuh, hendaknya suami itu mau menyerahkan urusannya pada pendengaran istri, ia juga menjelaskan perihal kesibukannya sehingga istri dapat memahami atau menjadi tahu sebenar-benarnya urusan sang suami.
Delapan, sebagian orang Arab menyatakan: “Janganlah kalian menikah dengan salah satu enam kategori perempuan sebagai berikut: annanah (banyak mengeluh), mannanah (banyak mengungkit-ungkit),  hannanah (banyak cenderung kepada lelaki lain), haddaqah (silau harta), barraqah (perempuan yang selalu bersolek), dan syaddaqah (yang banyak bicara).”
Adapun yang dimaksud dengan annanah adalah perempuan yang terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak mengaduh kesakitan, dan mengikat kepala dalam lebih banyak waktunya. Tak ada kebaikan yang diperoleh dalam menikahi perempuan yang mudah sakit atau pura-pura sakit.
Mannanah adalah perempuan yang mengungkit-ungkit pada suaminya, misalnya ia berkata: “Saya melakukan ini semua demi engkau.
Hannanah adalah perempuan yang cenderung kepada suami orang lain, atau cenderung kepada anak kandungnya dari mantan suaminya terdahulu. Ketiga kategori perempuan ini hendaknya dihindari untuk dipilih.
Haddaqah adalah perempuan yang melihat segala sesuatu dengan sepenuh mata, kemudian ia berhasrat memiliki sesuatu itu dan memaksa atau merayu suami untuk membeli sesuatu itu.
Barraqah dapat diartikan dengan dua kategori. Pertama, perempuan yang sepanjang hari aktivitasnya adalah membersihkan dan menghias wajah, agar dengan tindaklakunya itu wajahnya menjadi cantik berkilau. Kedua, adalah perempuan yang jika membenci suatu makanan maka ia tidak akan mau memakannya kecuali dalam keadaan sendiri tanpa orang. Perempuan kategori ini selalu menganggap sedikit bagian yang telah ia dapatkan.
Syaddaqah adalah perempuan yang banyak omong; yang selalu memperbanyak bicara.
Kesembilan, fungsi pernikahan itu ada lima: mendapatkan keturunan, mengatasi syahwat kelamin (libido seksual), mengelola urusan rumah tangga, memperbanyak saudara, dan memerangi nafsu dengan melaksanakan tugas aktivitas pasangan, keluarga, dan bersabar atasnya.
Efek samping (dampak negatif) pernikahan itu ada tiga.
Pertama, kelemahan mencari rizki yang halal, karena hal ini tidaklah mudah bagi kebanyakan manusia. Apalagi pada masa sulit semacam ini (zaman penjajahan), yang mana kebanyakan interaksi usaha  anak zaman ini sudah keluar dari undang-undang syariat, padahal mencari penghidupan begitu susahnya, dan keadaan zaman pun telah rusak. Nikah kemudian menjadi sebab masuk pada sesuatu yang dilarang itu, yakni dengan memberi nafkah sesuatu  yang haram. Inilah dampak negatif pernikahan yang menimpa para pelakunya.
Dengan demikian seorang yang membujang bebas dari dampak negatif  ini, sedangkan seorang yang sudah menikah, dengan sebab pernkahan itu boleh jadi masuk pada aspek keburukan, kemudian ia mengikuti hasrat keduniaan istrinya; menjual akhiratnya dengan dunia.
Kedua, ceroboh dan sembrono melaksanakan hak-hak istri dan keluarga. Karena suami itu adalah pemimpin di rumah tangganya, sedangkan anggota keluarganya itu di bawah kepemimpinannya dan ia bertanggungjawab atas anggota keluarganya.
Ketiga, boleh jadi istri dan anak itu merepotkan dan membuatnya sibuk sehingga menjauhkan suami dari taat pada Allah dan menariknya untuk memaksa diri mencari harta dunia, mengumpulkan harta, menyimpannya untuk keluarga, memburu kebanggaan, kemewahan, dan pamer  harta benda.
Setiap apa pun, misalnya keluarga, harta, anak keturunan yang dapat menyibukkan manusia sehingga ia jauh dari ketaatan pada Allah, maka itu semua adalah bahaya atau dampak negatif, dan merupakan kejelekan bagi yang mempunyai hal demikian itu.
Barang siapa yang dapat mengumpulkan dalam arti menjaga manfaat-manfaat atau dampak positif pernikahan, dan ia dapat menegasikan dampak negatif pernikahan, maka ia disunnahkan untuk menikah. Tetapi barang siapa yang tidak dapat memenuhi hal itu, maka meninggalkan pernikahan alias membujang adalah lebih utama. Tapi jika kedua hal itu sama-sama berimbang, antara dampak positif dan negatif, maka hendaknya ia meneliti secara sungguh-sungguh, dan hendaknya ia melakukan hal yang paling mendominasi dari dua hal tersebut. 
Kesepuluh, adalah sunnah ketika menikah itu diniatkan sebagai mengikuti sunnah Rasulullah, menjaga agama, mendapatkan keturunan, dan beberapa manfaat yang telah kami sebutkan. Dengan demikian nikah itu mendatangkan pahala jika seseorang berniat taat, misalnya agar pernikahan itu dapat menjaga kehormatannya, dan mendapatkan keturunan.
Hendaknya akad penikahan dilangsungkan di masjid, sesuai dengan hadits marfu’ riwayat At-Turmudzy dari Sayyidatina ‘Aisyah
اعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد
“Umumkan pernikahan ini, dan jadikan (akad nikah) itu di masjid-masjid.”

Hendaknya pernikahan itu dilangsungkan pada awal siang hari Jum’at, karena ada hadits yang terkenal (masyhur).

“Ya Allah berkahilah pada umatku yang menyelenggarakan urusannya di pagi hari.”
Hendaknya sedapat mungkin pernikahan itu dilaksanakan  pada bulan Syawwal. Sebenarnya hukum pernikahan yang diselenggarakan di luar bulan Syawwal itu menyamai pernikahan yang diselenggarakan di bulan Syawal.
Jika ada sebab tertentu yang menyebabkan pernikahan diselenggarakan di luar bulan Syawal, maka laksanakan saja pernikahan itu.
Bahkan juga boleh-boleh saja menganjurkan pernikahan pada bulan Shafar. Az-Zuhri meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah menikahkan putri beliau yakni Fathimah Az-Zahra’ dengan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib pada bulan Shafar, tepatnya pada tanggal  12 Shafar.
Kesebelas, disunnahkan menghadirkan atau mengundang segolongan atau sekelompok orang-orang ahli kebaikan dan ahli takwa karena ada tuntunan agama untuk mengumumkan atau memproklamirkan pernikahan secara terang-terangan. Dengan mengundang para ahli kebaikan dan ahli takwa itu berarti menyemarakkan pernikahan. Menyemarakkan atau meramaikan pernikahan tidak bisa tercapai kecuali dengan mengumpulkan atau menghadirkan sekelompok manusia, terutama para ahli kebaikan dan takwa karena mengharap tercapainya keberkahan dengan kehadiran mereka ini.
Keduabelas, disunnahkan dalam prosesi akad nikah ada khotbah dari wali mempelai perempuan (istri) atau yang mewakili. Yang demikian ini sesuai dengan hadits bahwa Rasulullah ketika menikahkan putrinya, yakni Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib beliau berkhotbah sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah Dzat yang dipuji karena limpahan nikmatnya, yang disembah karena kudrat-Nya, yang ditaati karena kekuasaan-Nya, yang ditakuti karena siksa dan kemarahan-Nya, yang perintah-Nya langsung untuk langit dan bumi-Nya, Dzat yang menciptakan makhluk dengan kudrat kekuasaan-Nya, yang membedakan para makhluk dengan hukum-hukum-Nya, memuliakan makhluk dengan agama-Nya, juga memuliakan mereka dengan nabi-Nya, Muhammad.
Sesungguhnya Allah, Yang Maha Bagus Nama dan Maha Luhur, telah menjadikan perjodohan sebagai sebab yang melekat dan sesuatu yang terpastikan. Dengan pernikahan itu Allah mengokohkan persaudaraan, dan menetapkan keberadaan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 54.

uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ z`ÏB Ïä!$yJø9$# #ZŽ|³o0 ¼ã&s#yèyfsù $Y7|¡nS #\ôgϹur 3 tb%x.ur y7/u #\ƒÏs% ÇÎÍÈ  
Artinya, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”.
Perintah Allah berjalan pada qadha’-Nya, dan qadha-Nya berjalan pada qadar-Nya. Pada tiap-tiap qadha’ ada qadar-Nya, pada tiap-tiap qadar ada ajal,  pada tiap-tiap ajal ada kitab (catatan). Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, pada sisi-Nya ada ummul kitab (induk catatan).
Segala puji bagi Allah, kami memuji, memohon pertolongan, dan memohon ampun. Kami memohon perlindungan pada Allah dari keburukan diri kami, dan kejelekan perbuatan-perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk padanya.
Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dalam keesaan yang tanpa sekutu. Saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah memberi shalawat, salam pada Nabi, juga pada keluarga dan sahabatnya.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ  
Artinya, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Q.S Ali Imran:102).
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ  
Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisa’: 01).
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YƒÏy ÇÐÉÈ   ôxÎ=óÁムöNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr& öÏÿøótƒur öNä3s9 öNä3t/qçRèŒ 3 `tBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JŠÏàtã ÇÐÊÈ  
Artinya, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Q.S. Al-Ahzab:70-71).
Amma ba’du
Sesungguhnya segala persoalan itu ada dalam kekuasaan Allah. Apa yang dikehendaki-Nya telah ditentukan. Allah juga telah memberi keputusan apa yang dikehendaki-Nya. Tak ada yang dapat mengakhirkan apa yang telah didahulukan-Nya, dan tak ada pula yang dapat mendahulukan apa yang Allah akhirkan. Tiadalah kedua orang bertemu dan berpisah kecuali dengan qadha dan qadar dari Allah.”
Kemudian setelah menyampaikan khotbah sebagaimana tersebut di atas khatib hendaknya mengakhiri khotbah nikah dengan berucap:
“Dan sesungguhnya di antara apa yang ditentukan dan ditakdirkan Allah Ta’ala adalah ketika seorang lelaki melamar perempuan, kemudian wali perempuan itu atau yang mewakili akan menikahkan sang lelaki kepada perempuan itu dengan mas kawin atau yang disebut sebagai mahar (al-shadaq) menurut apa yang diperintahkan Allah dengan mendampingi secara bagus atau berpisah juga dengan cara yang baik. Aku cukupkan perkataanku ini, dan aku memohon ampun pada Allah Yang Maha Agung, untukku, para hadirin semua, juga kepada kedua orang tuaku, kepada para guru-guruku, dan kepada segenap kaum muslimin. Maka hendaknya Panjenengan semua memohon ampun pada Allah, karena Ia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Ketiga belas. Wali disunahkan melakukan lamaran terlebih dahulu yang sebelumnya didahului dengan khotbah lamaran, begitu juga akad ijab qabul yang didahului dengan khotbah pernikahan. Para murid Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa khotbah itu cukup dengan ucapan hamdalah, shalawat, salam kepada Rasulullah Nabi Muhammad, dan berwasiat ketakwaan. Khatib berkhotbah:
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أوصيكم  عباد الله ونفسى بتقوى الله أما بعد فقد جئتكم خاطبا كريمتكم او فتاتكم فلانة
“Dengan menyebut nama Allah, segala puji juga bagi Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah. Saya menyampaikan wasiat kepada kalian wahai para hamba Allah, juga kepada diri saya sendiri, untuk selalu bertakwa kepada Allah.
Amma ba’du
Sungguh saya datang pada kalian dengan tujuan melamar si fulanah putri kalian.
Jika khatib itu bertindak sebagai wakil maka ia akan mengatakan, “Datang pada kalian orang yang mewakilkan pada saya atau saya datang pada kalian sebagai wakil dengan tujuan melamar putri kalian.
Kemudian wali nikah atau yang mewakili berkhotbah dan seterusnya, kemudian ia berkata:
“ Engkau bukanlah seorang yang dibenci.”
Keempatbelas. Sebelum akad nikah, seseorang yang menikahkan (al-muzawwij) dianjurkan berkata :
“Saya menikahkan engkau menurut apa yang diperintahkan Allah yaitu dengan merujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang juga baik.”
Setelah selesai akad nikah, hendaknya orang yang menikahkan mendoakan kebaikan, dan keberkahan kepada kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ketika mendoakan kedua mempelai agar cocok, dan bergaul dengan baik, beliau mengucapkan
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَ بارك عليك و جمَع بينكُما في خير
“Semoga Allah memberkahimu, dan memberkahi atasmu, serta menyatukan kebaikan atas kalian berdua.”
Kelimabelas. Al-Allamah Syihabuddin Al-Qalyuby berkata dalam bab shalat sunnah, dari catatan kakinya (hasyiahnya) atas kitab syarah Al-‘Allamah Al-Mahally: “Disunahkan agar suami-begitu juga istri-melaksanakan shalat dua rakaat sebelum akad nikah, juga bagi orang yang akan dipertemukan dalam resepsi pernikahan sebelum melaksanakan malam pertama (hubungan suami istri).”
Bab Dua

Penjelasan tentang Rukun Nikah dan Selainnya
Rukun Nikah itu ada lima yaitu
1.      Shighat (ijab qabul)
2.      Istri
3.      Suami
4.      Wali
5.      Dua saksi
Rukun pertama adalah shighat (pernyataan ijab qabul). Shighat ini sudah mecukupi misalnya ketika wali menyatakan (sebagai pernyataan ijab):
زَوَّجتُكَ فُلانَةً او أنكحتكها
“Aku nikahkan engkau dengan fulanah.”
Kemudian suami menjawab (qabul):
تَزوجْتُهَا او أنكحتُهَا او قبلت نكاحها او تزويجها او النكاح او التزويج او رضيت نكاحها او هذا النكاح
"Saya menikah dengannya atau saya menerima nikahnya atau saya rela menikah dengannya atau saya rela dengan pernikahan ini."
Imam As-Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata:
“Tidak akan terjadi pernikahan selamanya kecuali wali mengucapkan:
قدْ زَوَّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا 
Sungguh saya menikahkan kamu dengannya."
Kemudian suami menjawab:
قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا اَوْ قَبِلْتُ تَزْوِيْجَهَا
"Sungguh saya menerima nikahnya."
Atau pelamar (calon suami) mengucapkan:
زَوِّجْنِيْهَا اَوْ أَنْكِحْنِيْهَا
"Nikahkanlah aku dengannya."
Kemudian wali menjawab:
قَدْ زَوّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا
 "Sungguh aku nikahkan engkau dengannya."
Kemudian secara bersamaan pelamar dan wali menyebut nama calon mempelai perempuan beserta garis nasabnya (fulanah binti fulan; fulanah putri dari fulan).
Seandainya mempelai laki-laki (suami) berucap:
"Saya ingin menikahi putrimu atau saya menerima pernikahannya."
Kemudian wali berucap: "
Saya menikahkan kamu dengannya.
 Maka pernikahan dianggap sah, karena qabul itu hanyalah salah satu dari dua sisi akad nikah. Tidak ada perbedaan antara mendahulukan qabul (penerimaan) atau mengakhirkannya.
Di dalam syarah kitab Ihya Ulumiddin dijelaskan: "Tidak dipersyaratkan kesamaan penggunaan kata atau kalimat akad pernikahan. Jadi kalau salah seorang memakai kata “zawwajtuka” (saya kawinkan engkau), dan yang lain menjawab “qabiltu nikahaha” (saya terima nikahnya), maka pernikahan tetap sah. Ini sesuai dengan madzhab Imam Syafi’i."
Walaupun mempelai pria dan wali masing-masing dapat mengucapkan akad ijab qabul dalam bahasa Arab dengan baik, pernikahan itu terkategori sah, menurut pendapat yang paling benar, dengan menggunakan kata atau kalimat dari beragam masing-masing bahasa dunia (selain bahasa Arab) yang searti dengan kata  tazwij” dan “nikah” , dengan syarat masing-masing orang, yakni wali nikah dan mempelai pria memahami bahasa yang disampaikan satu sama lainnya, dan dua saksi pun memahami ucapan dari wali dan mempelai pria tersebut.
Ijab dan qabul tidaklah sah dengan tulisan atau isyarat yang jelas difahami. Tetapi ijab qabul dengan isyarat yang jelas itu sah jika dilakukan oleh orang yang bisu, sebagaimana juga sah jual beli dan perceraian orang yang bisu dengan memakai isyarat.
Ijab qabul itu dipersyaratkan bersambung tanpa putus, karena jika ada jeda perkataan lain, maka ijab qabul itu menjadi tidak sah.
Dipersyaratkan juga agar ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh suami (mempelai pria) itu dapat didengarkan dengan baik oleh pihak masing-masing. Dua saksi pun harus pula bisa mendengarkan. Sebab kalau tidak maka akad nikah menjadi tidak sah.
Dipersyaratkan pula agar orang yang mengijabi (al-mujib atau wali), dan orang yang menerima (al-qabil atau mempelai pria) tetap dalam keadaan patut (baqa’ul ahliyyah) sampai pada sempurna atau selesainya akad nikah.
Jadi, jika seorang wali mengucapkan ijab kemudian ia gila atau epilepsi, atau hak menjadi wali hilang karena ada suatu sebab sebelum mempelai pria menerima atau mengucap qabul, maka akad nikah menjadi batal. Menjadi batal pula akad, kalau wali meninggal sebelum mempelai pria menerima atau mengucapkan qabul.
Kalau perempuan yang mengizinkan dilaksanakannya pernikahan itu mencabut izinnya, atau ia gila, atau murtad, atau epilepsi sebelum qabul dari mempelai pria, maka qabul dari suami tidaklah dapat diteruskan atau tidak sah.
Adapun cara mengucapkan shighat pernikahan yang diwakilkan adalah ketika wakil dari wali berkata pada mempelai pria (zawj):
Zawwajtuka fulanatan binta fulanin muwakkili (saya nikahkan engkau dengan fulanah putri fulan dalam keadaan saya menjadi wakilnya).”
Ungkapan ijab dengan menambahkan kata muwakkili ini berkenaan ketika saksi dan mempelai pria belum atau tidak mengetahui adanya perwakilan dari wali. Jika keduanya sudah tahu adanya perwakilan ini, maka tentu tidak perlu ada tambahan kata muwakkili dan kemudian mempelai pria mengucapkan qabul.
Jika mempelai pria diwakilkan dan saksi tidak tahu tentang perwakilan ini, maka wali berkata pada wakil:
Zawwajtu binti fulanan muwakkilaka” (saya nikahkan anak perempuan saya dengan fulan yang mewakilkan pernikahan ini pada engkau). Jika saksi sudah tahu, maka wali tidak perlu menambahkan kata muwakkilaka.
Jika wali berkata pada wakil mempelai pria:
Zawwajtuka binti” (saya nikahkan engkau dengan anak saya)”, kemudian wakil menjawab:
Qabiltu nikahaha li muwakkili” (saya terima nikahnya untuk orang yang mewakilkan pada saya), maka akad nikah dianggap fasad atau rusak atau tidak sah, karena tidak ada kesesuaian antara ungkapan ijab dan qabul.
Kalau wakil mempelai pria itu menjawab (berqabul) dengan: “Qabiltu nikahaha” (saya terima nikahnya), maka pernikahan itu sah bagi wakil itu, tidak bagi yang mewakilkan.
Agar sah, disyaratkan dalam pernikahan yang diwakilkan, hendaknya wali atau wakil wali berucap ijab pada wakil mempelai pria: “Zawwajtu fulanatan binta fulanin fulanan” (saya nikahkan fulanah anaknya fulan kepada si fulan). Hendaknya wali atau wakil wali memberi nama, identitas atau pembeda tertentu kepada mempelai pria, yang mana pembeda itu menjadi penjelas yang membedakan dengan identitas lain atau wakilnya, misalnya dengan mengijab: “Zawwajtu fulanah binta fulanin lifulanin bin fulan” (saya nikahkan fulanah anaknya fulan kepada fulan anaknya fulan), atau “Zawwajtu muwakkilaka fulanan fulanatan binta fulanin” (saya nikahkan orang yang menjadikan kamu wakil yaitu fulan kepada fulanah binti (anak) fulan.
Sehingga tidak boleh berijab kepada wakil mempelai pria dengan: “Zawwajtukaha” (saya nikahkan engkau dengannya), atau dengan kalimat yang senada.  
Disyaratkan agar wakil dari mempelai pria mengucapkan qabul dengan: “Qabiltu nikahaha li muwakkili fulanin” (saya terima nikahnya fulanah untuk orang yang mewakilkan pada saya, yaitu si fulan), atau “Qabiltu nikahaha li fulanin ibni fulanin” (saya terima nikahnya si fulanah untuk si fulan bin (anak) fulan).
Hendaknya diperhatikan, bahwa kalau tidak memakai kalimat semacam ungkapan itu, maka akad nikah tidak sah.
Rukun kedua adalah istri atau mempelai putri.
Syaratnya ada empat.
Pertama, istri adalah seorang yang halal, artinya seorang yang sedang tidak melakukan ihram. Tidak sah menikahi perempuan yang muhrimah atau sedang ihram.  
Kedua, tertentukan atau jelas. Tidak sah menikahi salah satu dari dua perempuan, tanpa ditentukan salah satunya.
Ketiga, istri adalah orang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan orang lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah. Tidak sah menikahi perempuan yang sudah bersatus menikah atau perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah (masa menunggu) dari suaminya terdahulu.
Keempat, istri adalah benar-benar seorang perempuan. Tidak sah menikahi seorang waria.
Rukun ketiga adalah suami atau mempelai pria
Syaratnya ada lima
Pertama, suami adalah seorang yang halal, artinya seorang yang sedang tidak melakukan ihram. Tidak sah menikahi laki-laki yang muhrim atau sedang ihram, walaupun diwakilkan pada orang lain.
Kedua, kehendak sendiri. Maka tidak sah pernikahan laki-laki yang dipaksa tanpa ada alasan yang dibenarkan (mukrahin bighairi haqq). Kalau ia dipaksa menikah tetapi dengan cara yang benar maka pernikahan itu sah, misalnya memaksa suami menikahi perempuan yang dicerainya dengan thalaq bain tetapi bukan thalaq tiga, dalam keaadan teraniaya dalam pembagian waktu antara istri (madzlumatun fil qismi).

Ketiga,  Kedua, tertentukan atau jelas. Tidak sah menikahi salah satu dari dua laki-laki, tanpa ditentukan salah satunya. Misalnya wali mengucapkan: “Zawwajtu binti ahadakuma” (saya nikahkan anakku dengan salah satu di antara kalian berdua). Pernikahan itu tetap tidak sah, baik dalam hati wali menentukan salah satu di antara keduanya, ataukah tidak.
Keempat, suami harus mengetahui kehalalan istri, tahu namanya, nasabnya, dan keberadaannya. Jadi tidak sah pernikahan yang mana suami tidak tahu menahu keadaan istri, walaupun setelah pernikahan ternyata perempuan itu halal baginya.
Misalnya, lelaki yang  menikahi perempuan yang tidak diketahui apakah ia sedang dalam masa ‘iddah ataukah bebas dari ‘iddah, atau apakah ia saudara perempuannya ataukah bukan, ataukah ia masih mahramnya (perempuan yang haram dinikahi) ataukah perempuan lain (ajnabiyyah), kemudian ternyata setelah akad nikah atau pernikahan perempuan itu jelas tidak sedang dalam masa ‘iddah, atau ia benar-benar perempuan yang bukan mahramnya, dan sebagainya.
Kelima, suami adalah sebenar-benar laki-laki, maka tidak sah menikah dengan waria atau bencong.
Rukun yang keempat adalah wali.
Syaratnya ada sembilan.
Pertama, kehendak sendiri. Maka tidak sah pernikahan dari wali yang dipaksa.
Kedua, baligh. Maka tidak sah perwalian anak kecil sesuai dengan ijmak (kesepakatan) para ulama.
Ketiga, mempunyai akal. Maka tidak sah menurut ijma’ para ulama perwalian orang gila yang terus menerus, karena berarti ia tidak bersifat tamyiz; artinya tidak bisa membedakan kebenaran dengan kesalahan.
Kalau sifat kegilaan itu terputus-putus atau tidak konstan, maka tidak sah juga perwalian itu menurut pendapat yang lebih kuat dengan mempertimbangkan dominasi masa kegilaan. Sehingga wali yang lebih jauh kekerabatannya (al-ab’ad) berhak menikahkan ketika wali yang lebih dekat (al-aqrab) dalam masa kegilaan, bukan dalam masa kewarasan.
Keempat, sifat merdeka atau bukan budak. Maka tidak ada perwalian bagi seorang budak menurut ijmak para ulama.
Kelima,  sifat laki-laki.maka tidak ada perwalian bagi perempuan. Maka akad pernikahan yang dilakukan perempuan tidaklah sah; baik ijab maupun qabulnya. Tidak sah bagi dirinya, juga tidak sah bagi selainnya.
Keenam, sifat adil. Maka tidak ada perwalian bagi orang yang fasiq yang bukan al-Imam al-A’dzam (raja atau penguasa umum). Karena sifat kefasikan itu adalah bentuk kekurangan yang bisa mencederai persaksian, karena itulah orang fasik tidak boleh menjadi wali, sebagaimana budak. Hal ini adalah pandangan madzhab Imam Syafi’i. Tetapi mayoritas ulama madzhab Syafi’i periode akhir (aktsaru mutaakhkhiri al-Ashhab) memilih pendapat kebolehan seorang fasiq menjadi wali nikah. An-Nawawi sebagaimana Ibnu Shalah, dan As-Subki memilih pendapat yang difatwakan Al-Ghazali yang menetapkan kebolehan perwalian bagi orang yang fasik daripada hal perwalian itu jatuh ke tangan hakim yang juga fasik.
Ketujuh, Islam. Maka tidak ada perwalian bagi orang kafir untuk perempuan muslim. Tetapi orang kafir boleh menjadi wali bagi perempuan yang kafir. Hal ini sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 73:

tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& CÙ÷èt/  
Artinya, “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain...”
Kedelapan, bukan seorang yang cacat pemikiran dan penalarannya tersebab pikun atau gila (idiot; lambat pikiran). Maka tidak boleh ada perwalian bagi orang yang pikirannya tidak beres tersebab idiot dari asalnya atau karena ada sebab yang baru, atau karena sakit, atau karena tua. Karena orang semacam ini tidak akan mampu meneliti keadaan perjodohan suami istri, dan tidak bisaa mengetahui kesepadanan (kufu) para pasangan. Intinya mereka yang disibukkan oleh sakit sehingga tidak bisa berpikir secara jernih.
Kesembilan, bukan orang yang dibatasi atau dilarang sebab kecerobohan atau keborosannya. Maka orang semacam ini tidak boleh menjadi wali, misalnya orang yang sudah baligh tetapi ia belum pintar atau cekatan, atau orang yang memboroskan harta benda setelah masa kematangannya, kemudian ia dilarang. Karena kekurangannya itulah maka ia tidak bisa mengatur urusan pribadinya, maka ia tidak boleh mengurusi perwalian orang  lain.
Ada pendapat, bahwasanya orang semacam ini dapat menjadi wali nikah, karena angan pikirnya masih sempurna kalau terkait dengan pernikahan. Pelarangan ini tujuannya agar hartanya dapat terjaga dengan baik.
Rukun yang kelima adalah dua saksi.
Syaratnya ada sembilan.
Pertama, Islam. Maka tidak sah pernikahan di hadapan saksi dua kafir, atau satunya muslim satunya kafir. Baik yang dinikahkan itu seorang perempuan muslim ataukah kafir dzimmi (non muslim yang terikat perjanjian damai dengan pemerintah muslim). Karena kafir itu tidak termasuk ahli atau layak sebagai saksi.
Kedua, baligh.
Ketiga, berakal.
Keempat, merdeka.
Maka tidak sah pernikahan di hadapan para anak kecil, orang-orang gila, para budak baik murni ataukah budak yang dijanjikan kemerdekaannya (mudabbaran aw mukataban),
Kelima, laki-laki. Maka tidak sah pernikahan di hadapan para perempuan, dan juga di hadapan seorang lelaki dan dua perempuan, juga tidak sah di hadapan dua waria.
Keenam, sifat adil. Maka tidak sah pernikahan di hadapan dua orang fasiq, atau di hadapan seorang yang adil, dan seorang yang fasiq.
Ketujuh, bisa mendengar. Maka tidak sah pernikahan di hadapan dua orang tuli, juga tidak sah di hadapan seorang yang mendengar sedangkan satunya seorang yang tuli. Yang dimaksud dengan al-ashamm adalah seorang yang tidak bisa mendengar sama sekali.
Kedelapan, bisa melihat. Karena perkataan atau ujaran itu tidak bisa menjadi mantap melainkan dengan dapat dipersaksikan, dan dapat didengar. Dengan demikian akad pernikahan tidak sah jika dihadiri dua orang yang buta, atau seorang yang tidak bisa melihat dan seorang buta menurut salah satu pendapat yang sahih, adapun pendapat lainnya menyatakan keabsahannya. Karena bagaimanapun seorang buta itu secara global masih dalam kategori cakap dalam persaksian.
Kesembilan, bisa berbicara. Maka pernikahan tidaklah sah jika dihadiri dua orang yang bisu.
Dipersyaratkan pula, sebagai tambahan keterangan yang telah lewat, tidak adanya pelarangan sebab kecerobohan atau keborosan, dan mengetahui bahasa komunikasi dua pihak yang berakad (wali dan mempelai pria). Karena itu pernikahan tidaklah sah jika saksi tidak memahami bahasa yang digunakan kedua pihak yang berakad.
Di dalam Hasyiah Al-Bujayrami Syarah kitab al-Minhaj disebutkan:
“Disyaratkan agar pernikahan perempuan yang bercadar itu sah adalah kedua saksi sebelum terjadinya akad nikah dapat lebih dahulu melihatnya. Jika perempuan ini diakadkan padahal ia dalam keadaan bercadar, dan kedua orang saksi tidak mengetahui atau mengenalinya, maka akad itu tidaklah sah, karena pendengaran seorang saksi atas akad pernikahan itu sebagaimana pendengaran seorang hakim atas persaksian.”
Az-Zarkasyi berkomentar: “Maksud dipersayaratkan agar perempuan bercadar itu dilihat dulu sebelum akad adalah ketika ia memang belum diketahui identitasnya. Tetapi ketika perempuan bercadar itu sudah dikenali identitasnya, maka ia tidak perlu dilihat, dan akad nikah tetap sah.”
Permasalahan ini terkategori permasalahan yang unik atau indah yang mana para hakim sekarang ini tidak mengetahui permasalahan seperti ini. Karena itulah mereka menikahkan perempuan bercadar yang hadir dalam akad pernikahan tanpa dikenali identitasnya terlebih dahulu oleh para saksi. Dengan alasan bahwa kehadiran dan keberadaan perempuan  itu sudah mencukupi.
Pernyataan yang dirilis Syekh Muhammad Romly dalam fasal tentang persaksian (as-syahadat) adalah: “Sekelompok ulama berpendapat bahwa pernikahan perempuan yang bercadar itu tidak sah, kecuali jika kedua saksi telah mengetahui nama, daan nasab keturunan, atau wajah.”
Syekh Ibnu Hajar dalam as-Syihab al-Qalyubi, sebagai Hasyiah (catatan pinggir) atas Al-Jalal Al-Mahally menyatakan: “Tidak dipersyaratkan saksi melihat perempuan yang tidak jelas identitasnya, tetapi cukup hanya dengan menyaksikan berlangsungnya akad di antara perempuan yang bercadar itu dengan mempelai pria.”

Penutup
Menjelaskan Hak-Hak Istri atas Suami dan Hak-Hak Suami atas Istrinya.
Suami wajib mempergauli istri dengan cara yang baik (ma’ruf), yakni dengan cara berbuat baik pada istri, dengan:
Pertama, memenuhi hak-hak istri berupa mahar, nafkah, biaya rumah tangga, dan sandang dengan kerelaan, murah hati, dan perkataan yang lembut.
Kedua, bersabar atas keburukan akhlaknya
Ketiga, menuntunnya ke jalan kebaikan dan berbagai ibadah.
Keempat, mengajarinya tentang kebutuhan pengetahuan agama, tentang hukum kesucian, haidz, shalat yang diqadha dan yang tidak.
Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 19:
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  
Artinya “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Allah juga berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
Artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ketika dalam haji Wada’ Nabi Muhammad setelah membaca hamdalah, dan menyanjungkan puji pada Allah, beliau memberi nasehat sebagai berikut:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ  قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَمَعْنَى قَوْلِهِ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ يَعْنِي أَسْرَى فِي أَيْدِيكُمْ
Artinya, “Dari Sulaiman Bin Amr bin Al-Ahwash yang mengatakan, Bapakku telah mengabarkan bahwa ia menyaksikan haji wada Rasulullah. Beliau ketika itu membaca hamdalah, memuji Allah, memberi peringatan dan nasihat. kemudian Ia menyampaikan hadits yang mengisahkan haji wada tersebut. Dalam nasihat tersebut Rasulullah bersabda: “Ingatlah dan berwasiatlah tentang wanita secara baik. Sesungguhnya mereka itu bagaikan tawanan yang menjadi tanggung jawabmu. tidaklah kamu miliki, dari mereka selain  hal tersebut, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji secara nyata. Jika mereka berbuat jahat, maka jauhilah tempat tidurnya, pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka telah taat padamu, maka jangan lah membuat kesulitan pada mereka. Ingatlah sesungguhnya bagimu ada hak yang menjadi tanggung jawab mereka. Bagi istrimu juga ada hak yang menjadi tanggung jawabmu. Adapun hakmu yang menjadi tanggung jawab mereka adalah jangan memasukan orang yang tidak kamu senangi ke kamarmu, dan jangan lah mereka mengizinkan orang yang tidak kamu senangi berada di  rumahmu. Ingat lah bahwa hak mereka yang menjadi tanggung jawabmu adalah berbuat baik pada mereka seperti menyediakan pakai an dan makanan untuk mereka.”
Rasulullah juga bersabda,              
“Hak perempuan (istri) atas suami adalah hendaknya suami memberi makanan ketika ia makan (memenuhi kebutuhan pangan atau konsumsi), memberi sandang ketika ia bersandang (memenuhi kebutuhan sandang), hendaknya suami tidak memukul wajah istri, hendaknya suami tidak mencap jelek, dan tidak meninggalkan istri kecuali di tempat tidur.”
Rasulullah juga bersabda,
“Mana saja dan siapa saja suami yang menikahi perempuan baik dengan mahar yang sedikit atau banyak, tetapi tidak ada dalam diri suami itu kehendak untuk memenuhi haknya istri (maksudnya suami bermaksud menipu istri), kemudian suami meninggal dalam keadaan tidak memenuhi hak istri, maka suami bertemu dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan sebagai pezina.”
Rasulullah juga bersabda,
“Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan orang-orang beriman adalah sesiapa yang akhlaknya bagus, dan yang paling lembut pada keluarganya.”
Rasulullah juga bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah sebaik-baik kalian pada keluarga kalian, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku.”
“Lelaki itu adalah pemimpin dalam pengaturan keluarganya, dan ia akan ditanyai tentang tanggungan keluarganya itu, dan perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusan yang dipimpinnya itu, dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya itu.”
Allah berfirman dalam surat Thaha ayat 132:
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ (
Artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
“Barang siapa yang tidak memerintah istrinya shalat, dan juga ia tidak mengajari istri perihal pengetahuan keagamaan maka sungguh ia telah berkhianat pada Allah dan Rasul-Nya.”
Nabi juga bersabda,
“Tidaklah seseorang itu bertemu dengan Allah (di hari kiamat) dengan membawa dosa yang lebih besar daripada kebodohan keluarganya.”
Hak-Hak Suami atas Istri juga banyak. Di antaranya:
Pertama, wajib bagi istri untuk menaati suami kecuali dalam hal yang tidak halal. Istri hendaknya tidak berpuasa, dan tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin dan kerelaan suami.
Kedua, istri hendaknya bersungguh-sungguh mencari kerelaan suami. Hendaknya ia menjauhi hal membuat marah suami, sekuat tenaga; semampunya.
Ketiga, hendaknya istri tidak menghalangi suami untuk dapat bersenang-senang atau kemesraan yang sifatnya dibolehkan agama.
Keempat, hendaknya istri mengakui bahwasanya ia seperti budak sahaya, sehingga ia tidak bertindak dalam pengelolaan harta suami melainkan dengan izinnya. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan harta milik pribadi istri pun, ia harus seizin suami, karena ia bagai orang yang dihalangi dari pengelolaan harta.
Kelima, hendaknya istri mendahulukan hak-hak suami daripada hak-hak kerabatnya, bahkan daripada hak-hak pribadi istri dalam sebagiannya.
Keenam, hendaknya istri selalu bersiap-siap untuk bersuka ria (bermesraan) dengan suami sesuai dengan kemampuan istri, misalnya menyiapkan hal-hal yang menjadi sebab kebersihan.
Ketujuh, hendaknya istri tidak membanggakan atau menyombongkan kecantikannya dan tidak mencela kelemahan atau keburukan suami.
Kedelapan, istri senantiasa bersikap malu pada suami, menjaga pandangan mata di hadapan suami, taat atas perintahnya, dan diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami datang dari perjalanan, dan ketika hendak keluar rumah (bepergian).

Kesembilan, hendaknya istri menawarkan dirinya ketika mau tidur, menjaga amanah ketika suami bepergian dalam ranjang dan hartanya, selalu menjaga wewangian untuk suami, memelihara mulut dengan wewangian.
Kesepuluh, selalu berhias atau menjaga penampilan di hadapan suami, dan tidak berhias ketika suami pergi.
Kesebelas, menghormati keluarga dan kerabat suami; melihat hal yang kecil dari milik suami sebagai hal besar atau bernilai; menuntut kerelaan suami sekuat tenaga, karena suami adalah surga dan nerakanya.
Nabi Muhammad bersabda,
“Ketika perempuan shalat lima waktu, berpuasa penuh dalam bulan Ramadhan, menjaga alat kelamin atau kehormatannya, menaati suaminya, maka dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga dari pintu mana pun yang engkau kehendaki.”
Adalah sahih bahwa Nabi pernah bersabda kepada salah seorang perempuan yang telah menikah,
“Bagaimana engkau memosisikan dirimu kepada suamimu? Perempuan itu menjawab: “Saya tidak sembrono untuk melayani suami saya, kecuali terhadap sesuatu yang aku tidak mampu. Rasulullah kemudian menimpali: Bagaimana bisa engkau berbuat demikian. Suamimu adalah surgamu dan nerakamu.”
Dari ‘Aisyah sesungguhnya ia pernah bertanya pada Rasulullah, “Manusia siapakah yang paling besar haknya atas perempuan? Kemudian Nabi menjawab, “Suaminya.” Lalu saya (‘Aisyah) bertanya, “ Manusia manakah yang paling besar haknya atas seorang lelaki? Nabi menjawab, “Ibunya.”
Diriwayatkan bahwasanya seorang perempuan bertanya, “Wahai Rasulallah sesungguhnya saya adalah delegasi dari para perempuan untuk bertanya padamu kemudian ia menyebutkan keutamaan para lelaki yang dengan jihadnya mendapatkan pahala dan rampasan, kemudian perempuan itu bertanya, “ (Itu bagian dari para lelaki), Lalu apa bagian kami sebagai perempuan? Rasulullah menjawab, “Sampaikanlah pada para perempuan yang kamu temui bahwa sesungguhnya ketaatan pada suami, dan mengakui hak-haknya para suami itu sepadan dengan apa yang diperolah para laki-laki, akan tetapi sedikit di antara kalian yang mampu berbuat seperti ini.”
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya seorang lelaki datang bersama puterinya menuju Rasulullah, kemudian lelaki itu berkata, “Sesungguhnya puteriku ini enggan menikah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Taatilah ayahmu.” Kemudian gadis itu berkata, “Demi dzat yang mengutus Engkau dengan membawa kebenaran, saya tidak mau menikah hingga engkau menceritakan padaku tentang apa hak seorang suami atas istrinya. Kemudian Nabi Muhammad menjawab, “Hak suami atas istri, seandainya di tubuh suami ada luka, kemudian istrinya menjilati luka itu, atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya menjilatinya,  maka hal itu belum bisa memenuhi hak suami.” Perempuan itu kemudian berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Nabi bersabda, “ Janganlah  menikahkan para putri kalian kecuali dengan kerelaannya.”
Imam At-Thabarany meriwayatkan bahwasanya sungguh hak suami atas istri jika suami menginginkan diri tubuh istri padahal istri sedang di atas pelana kuda, maka hendaknya istri tidak menghalangi keinginan suami. Di antara hak suami atas istri adalah hendaknya ia tidak berpuasa sunnah kecuali dengan kerelaannya. Jika istri bersikeras puasa, maka lapar dan dahaganya tidak akan diterima pahalanya. Istri juga tidak boleh keluar rumah kecuali atas kerelaan suami. Kalau ia bersikeras, maka malaikat langit dan malaikat bumi, malaikat rahmat, dan malaikat adzab akan melaknatnya hingga ia pulang.
Adalah shahih hadits yang menyatakan, “Allah Ta’ala tidak melihat pada perempuan yang tidak bersyukur pada suaminya, sedangkan ia masih butuh pada suaminya.”
Ada keterangan dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda,
“Empat perempuan masuk surga, dan empat perempuan lainnya masuk neraka. Kemudian Nabi menyebutkan empat perempuan yang masuk surga.
Pertama, perempuan yang menjaga diri, taat pada Allah dan suaminya;
Kedua, perempuan yang mempunyai banyak anak, yang sabar, yang menerima (qana’ah) nafkah yang sedikit dari suaminya:
Ketiga, perempuan yang mempunyai sifat malu. Jika suami pergi, ia menjaga diri dan hartanya. Jika suami ada di rumah ia menahan lidahnya (tidak banyak bicara);
Keempat, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan ia mempunyai banyak anak kecil. Ia menahan diri karena anak-anaknya, ia mendidik dan berbuat kebaikan pada anak-anaknya, dan ia tidak menikah lagi karena takut anak-anaknya tersia-siakan.”
Kemudian Nabi bersabda tentang empat perempuan yang masuk neraka.
Adapun empat perempuan yang masuk neraka adalah,
Pertama, perempuan yang lidahnya berkata kotor pada suaminya. Jika suaminya pergi ia tidak bisa menjaga dirinya. Ketika suaminya ada di rumah ia akan menyakiti suaminya dengan lidah kata-katanya;
Kedua, perempuan yang membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu;
Ketiga, perempuan yang tidak menutupi dirinya dari para lelaki, keluar rumah dalam keadaan terang-terangan (berhias berlebihan);
Keempat, perempuan yang tidak mempunyai tekad kecuali makan, minum, tidur. Tidak mempunyai kesenangan untuk shalat, tidak taat pada Rasulullah, juga tidak taat pada suaminya.”
Jika perempuan mempunyai sifat-sifat ini, maka ia dilaknat sebagai bagian ahli neraka, kecuali kalau ia melakukan tobat.
Sayyidina Ali KaramaLlah wajhah bercerita,
“Saya bersama Fathimah masuk menemui Rasulullah. Kami menemukan beliau sedang dalam keadaan menangis yang sangat. Aku bertanya, “Tebusanmu ayah dan ibuku wahai Rasulallah. Apa yang membuatmu menangis? Nabi menjawab, “wahai Ali, pada malam aku diisrak mikrajkan saya melihat para perempuan digantung rambutnya dalam keadaan otaknya mendidih. Saya juga melihat perempuan yang digantung lidahnya sedangkan air panas diguyurkan pada kerongkongannya. Saya juga melihat perempuan yang diikat kedua kakinya hingga dua pentil buah dadanya, diikat kedua tangannya hingga ubun-ubunnya. Allah sungguh mengirimkuasakan ular-ular, dan kala jengking. Saya melihat perempuan yang bentuk kepalanya babi, badannya berupa himar dan ia dikenai beribu-ribu siksaan. Saya juga melihat perempuan dalam bentuk anjing, sedangkan api masuk melalui mulutnya, dan keluar dari anusnya sedangkan para malaikat memukul kepalanya dengan paku-paku neraka.
Kemudian Fathimah az-Zahra bangkit dan berkata, “Wahai kecintaanku, dan permata hatiku, apa yang diperbuat para perempuan itu sehingga mereka terkenai siksaan ini?” Rasulullah kemudian menjawab, “Wahai putri kesayanganku, adapun perempuan yang diikat rambutnya, karena ia tidak menutupi rambutnya di hadapan para lelaki, adapun perempuan yang diikat lidahnya karena ia menyakiti suaminya, adapun perempuan yang diikat payudaranya karena ia memasukkan pria asing ke selimut ranjang suaminya, adapun perempuan yang kaki sampai payudaranya diikat, juga kedua tangan sampai ubun-ubunnya, maka sungguh Allah menguasakan ular-ular dan kalajengking karena mereka tidak mandi junub, tidak mandi besar karena haidz, meremehkan shalat, adapun perempuan yang kepalanya serupa kepala babi sedangkan badannya adalah himar, karena ia tukang hasut, pandai berdusta, adapun perempuan yang seperti bentuk anjing sedangkan api masuk melalui mulutnya dan keluar melalui anusnya hal itu karena ia banyak mengungkit-ungkit kebaikannya di masa lalu, dan amat pendengki. Wahai putriku, sungguh sebuah celaka (neraka wail) bagi perempuan yang mendurhakai suaminya.”
Pernyataan ringkas tentang etika perempuan adalah,
Hendaknya ia duduk di dalam rumahnya, istiqamah menekuni kesibukan rumah tangga, sedikit bicara pada para tetangga, sedikit masuk ke rumah mereka kecuali ada hajat yang meniscayakan untuk itu, menjaga suami baik ketika pergi maupun di hadapannya, mencari kesenangan suami dalam segala aspek, tidak keluar rumah kecuali dengan izinnya, ketika keluar dari rumah dengan izin suami, keluarnya tidak dengan berhias berlebihan, yakni dengan selimut yang lusuh, baju yang tidak mencolok, menundukkan mata ketika berjalan, tidak mengumbar pandangan ke  kanan dan kiri, tidak mengenali teman suaminya, mengingkari orang yang menyangka bahwa ia mengenalnya, tekadnya adalah membagusi keadaannya dan mengatur rumah tangganya, penuh istiqamah dalam shalat dan puasanya, tidak bertanya dan tidak menjawab dengan perkataan bagi orang yang minta izin di depan pintu rumah sedangkan suaminya sedang tidak ada di rumah, menjaga  diri agar lelaki asing tidak mendengar suaranya atau mengetahui identitasnya, kasih sayang terhadap anak-anaknya, menjaga rahasia, tidak mengumbar kata yang mencela anak-anak dan membantah suaminya,
Sungguh pernah dikatakan, ketika pada perempuan itu telah jelas tiga hal berikut, maka ia disebut sebagai pelacur (perempuan yang tercela), yaitu: keluar di siang hari dalam keadaan terang-terangan (berhias berlebihan), bebas melihat para lelaki asing, memekikkan suara sehingga terdengar oleh para lelaki asing walaupun ia adalah seorang perempuan yang shalehah, karena hal demikian ini adalah sebentuk penyerupaan dengan perempuan yang jelek.
Rasulullah telah bersabda, “Barang siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk dalam golongan itu.”
Rasulullah pernah bertanya kepada putrinya, yaitu Fathimah, “Sesuatu apakah yang paling baik bagi perempuan?” Fathimah menjawab, “Hendaknya perempuan tidak melihat lelaki, dan hendaknya lelaki tidak melihat perempuan.” Kemudian Rasulullah merangkul Fathimah, dan beliau berkata, “Keturunan yang sebagiannya adalah berasal dari sebagian yang lain.” Rasulullah menganggap bagus pernyataan Fathimah.
Allah Yang Maha Tahu kebenaran sejati. Kepada-Nya tempat kembali. Semoga shalawat serta salam Allah senantiasa tercurah pada junjungan kita, Nabi Muhammad, seorang yang membuka hijab penghalang, juga untuk para keluarga, para sahabatnya, serta sesiapa yang meniti jalan manusia yang bertobat.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.