Rabu, 10 Desember 2014
Selasa, 09 September 2014
Minggu, 06 April 2014
Minggu, 09 Maret 2014
Fiqih Nikah
ضَوْءُ الْمِصْبَاحِ فِيْ بَيَانِ اَحْكَامِ النِّكَاحِ
Karya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari
(Pendiri Nahdlatul Ulama)
Mukadimah
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga
senantiasa terlimpah bagi penghulu para rasul, yakni Sayyidina Muhammad,
keluarga, dan para sahabatnya secara menyeluruh.
Kemudian, ini adalah
risalah (makalah, artikel) tentang hukum-hukum pernikahan. Yang mendorongku
untuk menuliskan risalah ini adalah karena mayoritas orang-orang yang menghendaki atau mau menuju pernikahan dari kalangan awam negeriku (Indonesia)
tidak mempelajari rukun-rukun, syarat-syarat, dan etika pernikahan, padahal
mempelajari hal tersebut adalah wajib.
Kemudian saya renungkan faktor penyebab mengapa mereka
tidak mempelajari rukun, syarat, dan etika pernikahan tersebut. Ternyata
sebabnya adalah karena bab atau pasal pernikahan itu terdapat di dalam
kitab-kitab yang besar-besar (berjilid-jilid), karenanya mereka menjadi malas
untuk bersemangat mempelajarinya.
Aku bermaksud menyebutkan rukun, syarat, dan etika pernikahan itu dalam
risalah ini agar orang-orang yang menghendaki pernikahan (orang-orang awam yang
mau menikah) mudah memperoleh penjelasan tentang hal tersebut.
Risalah ini kunamai dengan ضَوْءُ الْمِصْبَاحِ فِيْ بَيَانِ اَحْكَامِ النِّكَاحِ (Kejelasan
Lentera Tentang Hukum-Hukum pernikahan). Risalah ini saya urutkan menjadi dua bab beserta satu penutup.
Saya berharap bagi siapa saja yang melihat adanya
cacat, kekurangan, ataupun kekeliruan dalam risalah
ini agar sudi mengingatkan, karena manusia itu tempat salah dan lupa. Tiadalah
penolongku melainkan Allah azza wajalla, pada-Nya saya bertawakal, dan
pada-Nya pula saya kembali.
Bab Pertama
Tentang Hukum Pernikahan
Tentang hal ini ada beberapa persoalan.
Pertama, Imam Ruknuddin Abu Al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah
bin Yusuf bin Muhammad bin Haywih As-Sinsibi Al-Juwainy, yang dikenal sebagai
Al-Haramain (419 H/1028 M-478 H/1085 M) menjelaskan
bahwa pernikahan itu terkategori sebagai bagian syahwat, bukan kategori ibadah atau al-qurubat.
Tentang nikah sebagai syahwat
ini, Imam Muhamad bin Idris As-Syafi’i
( 150 H/767 M-204 H/820 M) mengisyaratkan dalam kitab Al-Umm dengan
redaksi sebagai berikut:
Allah berfirman
dalam surat Ali Imran ayat 14.
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
ÇÊÍÈ
Artinya, “Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita...”.
Dalam
hadits juga disebutkan
حبب إلي من دنياكم: النساء والطيب, وجعلت قرة
عيني في الصلاة
Artinya, “Telah dijadikan aku menyukai bagian dari dunia kalian, yaitu
mencinta istri dan wewangian. Dan dijadikan sebagai penenang hatiku di dalam
shalat”.
Melestarikan keturunan
adalah sesuatu yang bersifat dugaaan, apalagi juga tidak bisa diketahui
apakah keturunan itu menjadi orang yang baik ataukah jahat.
Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi (631
H-676 H) berkata: “Jika dengan menikah seseorang bermaksud menjalankan ketaatan
seperti mengikuti sunnah atau memperoleh keturunan atau menjaga kehormatannya,
atau menjaga pandangan matanya, maka pernikahan itu terkategori amal akhirat
yang berpahala.”
Kedua, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzabadi
as-Syirazi (393 H/1003 M-476 H/1038 M) dalam kitab Al-Muhadzdzab berkata:
Nikah itu hukumnya boleh, karena ia untuk memperoleh atau mencari kelezatan
(kenikmatan) yang dengannya nafsu itu menjadi sabar. Tetapi
nikah itu tidaklah wajib, karena ia sebagaimana memakai pakaian yang halus, dan
mengonsumsi makanan yang lezat.
Terkadang
nikah itu disunnahkan, misalnya bagi seseorang yang dirinya punya keinginan
kuat untuk berhubungan seksual
dan ia mampu membayar mahar dan nafkah keluarga.
Bagi
seorang yang belum punya keinginaan kuat untuk berhubungan seksual, maka disunnahkan
baginya agar tidak menikah
dahulu, karena ia akan dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban pernikahan yang mana
dia tidak membutuhkan pemenuhannya. Justru
tersebab pernikahan itu ia menghajatkan kesibukan yang dapat memalingkan dari ibadah.
Sehingga, ketika seseorang memilih untuk tidak menikah, maka ia dapat berkonsentrasi
penuh ibadah. Dan dengan
demikian, meninggalkan pernikahan itu lebih menyelamatkan keagamaannya.
Abdullah bin al-Hijazy bin Ibrahim As-Syarqawy (1150
H/1738 M-1227 H/1812 M) dalam Hasyiah ‘ala
At-Tahrir menyatakan bahwa terkadang nikah itu menjadi wajib, misalnya dalam
kondisi ketika pernikahan itu secara nyata menjadi jalan atau sarana untuk mencegah
perzinahan atau seseorang mencerai istri yang masih mempunyai hak dalam
pembagian waktu (bagi suami yang mempunyai lebih dari satu istri, maka ia wajib membagi waktunya bersama para istri
secara adil).
Terkadang pernikahan itu terkategori khilaful awla atau menyalahi keutamaan, misalnya bagi orang yang
sudah sangat ingin menikah namun ia minim atau tidak punya biaya pernikahan. Dalam
kondisi demikian ia hendaknya menahan hasratnya itu dengan terapi puasa. Jika puasa itu belum mampu
memecah syahwat keinginan menikah, ia tetap tidak boleh memecah syahwatnya dengan
kapur kapur atau
yang sejenis, tetapi hendaknya ia menikah dengan tujuan menjaga diri.
Terkadang
pernikahan itu dihukumi makruh, misalnya bagi seseorang yang tidak atau belum menginginkan
pernikahan dan ia minim atau tidak punya biaya pernikahan. Atau ia punya biaya pernikahan,
tetapi ia mempunyai penyakit semacam pikun, atau lemah syahwat.
Adakalanya
pernikahan itu dihukumi haram, misalnya menikahi perempuan yang memang haram
untuk dinikahi.
Ketiga,
seseorang disunnahkan untuk tidak menikah kecuali dengan perempuan yang
mempunyai akhlak keagamaan (dzata din),
berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال : تنكح المرأة لاربع : لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر
بذات الدين تربت يداك
“Perempuan itu
dinikahi karena empat alasan, karena hartanya, kedudukan atau derajat pangkatnya,
kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, niscaya kedua
tanganmu selamat.”
Yang dimaksud orang yang layak mendapat predikat dzati din dan mempunyai kehormatan (muruah) adalah ketika
agama menjadi pusat pandangannya dalam segala hal, apalagi dalam pernikahan
yang seseorang di dalamnya berinteraksi dalam jangka waktu yang lama.
Karena itulah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh
wasallam memerintahkan kita untuk menikahi perempuan yang mempunyai komitmen
agama yang baik, yang hal demikian itu adalah puncak tujuan.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah ibn ‘Amr dan Ibn
Majah dan merupakan hadits marfu’ (hadits yang tersambung langsung
kepada Rasulullah), Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menikahi perempuan karena
kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya itu merusakkan, tetapi
menikahlah dengan yang mempunyai akhlak agama. Sungguh
budak perempuan yang hitam,
juga putus telinganya dan mempunyai agama (dzati din) itu lebih utama daripada
perempuan cantik tetapi tidak beragama.”
Hendaknya
juga seseorang tidak menikah kecuali dengan perempuan yang mempunyai akal (dzati
aqlin). Karena maksud utama pernikahan itu adalah bergaul secara baik dan hidup
yang nyaman, dan hal itu tidak akan tergapai kecuali hidup bersama perempuan
yang mempunyai intelegensia
atau akal budi.
Keempat,
disunnahkan hendaknya calon istri adalah seorang gadis atau perawan, kecuali
karena ada halangan (udzur), misalnya seorang lelaki yang alat kelaminnya tidak mampu atau lemah untuk merobek keperawanan, atau karena membutuhkan istri yang akan mengatur keluarga sebagaimana
terjadi pada seorang sahabat nabi, Jabir ibn Abdullah.
Disunnahkan
pula hendaknya calon istri kita adalah seorang yang memiliki nasab yang baik,
bukan anak hasil perzinahan, bukan pula anak seorang yang fasik (termasuk dalam
kategori ini adalah perempuan temuan dan perempuan yang tidak diketahui
keberadaan ayahnya).
Hendaknya
calon istri sekufu atau sepadan dengan calon suami, hal ini sesuai dengan
hadits marfu’ Sayyidatina ‘Aisyah
yang diriwayatkan dan disahihkan oleh Al-Hakim.
تخيروا لنطفكم ولا تضعوها فى غير الأكفاء . صحح الحاكم
“Pilihlah bagi keturunan kalian, dan
menikahlah dengan perempuan yang sekufu.”
Hendaklah
calon istri adalah seorang yang mempunyai potensi banyak anak (al-walud),
dan hal itu dapat diketahui dari kerabat dekat sang perawan atau calon istri tersebut.
Hendaklah
calon istri adalah seorang yang banyak punya sifat kasih sayang (penyayang;
romantis), sesuai dengan hadits
berikut ini:
تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي
مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Menikahlah dengan seorang yang
punya anak banyak, juga penyayang. Sungguh dengan perantaraan kalian aku akan membanggakan dan
memperbanyak umat di hari kiamat.”
Hendaknya
juga menikah dengan perempuan yang sudah baligh, kecuali karena ada hajat
tertentu.
Hendaknya
pula menikah dengan perempuan yang maharnya sedikit.
Hendaknya
jangan menikah dengan perempuan yang dicerai oleh suami yang masih
mencintainya, atau perempuan yang masih mencintai suami yang mencerainya.
Hendaknya
jangan menikah dengan perempuan yang mempunyai kekerabatan yang dekat,
melainkan hendaknya menikah dengan perempuan yang bukan mahram (ajnabiyah),
atau yang mempunyai
kekerabatan yang jauh.
Kelima,
disunnahkan agar seseorang itu tidak menikah kecuali
dengan orang yang ia anggap bagus atau patut untuk dicintai atau dinikahi. Hal
ini sesuai dengan riwayat Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm bahwasanya
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perempuan itu sebagaimana permainan, karena
itu ketika salah seorang kalian mengambil permainan, maka hendaknya ia
mengambil yang terbaik (yang dianggap pantas dan bagus).”
Keenam, jika seseorang hendak menikahi perempuan, maka ia
disunnahkan untuk melihat paras wajahnya, juga kedua telapak tangannya. Hal ini sesuai dengan hadits
riwayat Abu Hurairah bahwasanya sungguh ada seorang lelaki yang hendak menikah
dengan perempuan Anshar, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:
“Lihatlah wajahnya, karena pada mata orang Anshar itu ada
sesuatu.”
Hendaknya ia tidak melihat kecuali pada wajah dan kedua
telapak tangannya. Suatu kemestian agar ia melihat perempuan itu secara halal,
yaitu dengan keyakinan bahwa perempuan itu bebas dari ikatan pernikahan, dan ia
bukan perempuan yang sedang dalam masa tunggu atau ‘iddah.
Hendaknya ia juga punya kuat sangkaan bahwa lamaran pernikahannya
tidak ditolak.
Disunnahkan bagi laki-laki yang kesulitan untuk dapat melihat perempuan, agar
ia menyuruh perempuan lain agar dapat mendeteksi karakter perempuan yang akan
dinikahi. Sebaliknya, disunnahkan bagi perempuan ketika ia berkehendak untuk
menikah dengan seorang lelaki agar ia juga melihat terlebih dahulu lelaki
tersebut. Karena sesuatu (keindahan fisik dan karakter) yang dapat membuat
kagum seorang perempuan juga dapat membuat kagum seorang lelaki. Karena itulah ‘Umar
ibn Khattab pernah berkata:
“Janganlah menikahkan para anak-anak perempuan kalian
dengan lelaki yang buruk rupa, karena sesuatu (daya tarik) yang dapat membuat
kagum seorang perempuan juga dapat membuat kagum seorang lelaki.”
Ketujuh, hendaknya suami itu mau menyerahkan urusannya
pada pendengaran istri, ia juga menjelaskan perihal kesibukannya sehingga istri
dapat memahami atau menjadi tahu sebenar-benarnya urusan sang suami.
Delapan, sebagian orang Arab menyatakan: “Janganlah kalian
menikah dengan salah satu enam kategori perempuan sebagai berikut: annanah (banyak mengeluh), mannanah (banyak
mengungkit-ungkit), hannanah (banyak cenderung kepada lelaki lain), haddaqah (silau harta), barraqah (perempuan yang selalu bersolek),
dan syaddaqah (yang banyak bicara).”
Adapun yang dimaksud dengan annanah adalah perempuan yang terlalu banyak mengeluh, terlalu
banyak mengaduh kesakitan, dan mengikat kepala dalam lebih banyak waktunya. Tak
ada kebaikan yang diperoleh dalam menikahi perempuan yang mudah sakit atau
pura-pura sakit.
Mannanah
adalah perempuan yang mengungkit-ungkit pada suaminya, misalnya ia berkata:
“Saya melakukan ini semua demi engkau.”
Hannanah
adalah perempuan yang cenderung kepada suami orang lain, atau cenderung kepada anak
kandungnya dari mantan suaminya terdahulu. Ketiga kategori perempuan ini
hendaknya dihindari untuk dipilih.
Haddaqah
adalah perempuan yang melihat segala sesuatu dengan sepenuh mata, kemudian ia berhasrat
memiliki sesuatu itu dan memaksa atau
merayu
suami untuk membeli sesuatu itu.
Barraqah
dapat diartikan dengan dua kategori. Pertama, perempuan yang sepanjang hari
aktivitasnya adalah membersihkan dan menghias wajah, agar dengan tindaklakunya itu wajahnya menjadi cantik berkilau. Kedua, adalah
perempuan yang jika membenci suatu makanan maka ia tidak akan mau memakannya
kecuali dalam keadaan sendiri tanpa orang. Perempuan kategori ini selalu
menganggap sedikit bagian yang telah ia dapatkan.
Syaddaqah
adalah perempuan yang banyak omong;
yang selalu memperbanyak bicara.
Kesembilan,
fungsi pernikahan itu ada lima:
mendapatkan keturunan, mengatasi
syahwat kelamin (libido seksual),
mengelola urusan rumah tangga, memperbanyak saudara, dan memerangi nafsu dengan
melaksanakan tugas aktivitas pasangan, keluarga, dan bersabar atasnya.
Efek
samping (dampak negatif) pernikahan itu ada tiga.
Pertama,
kelemahan mencari rizki yang halal, karena hal ini tidaklah mudah bagi
kebanyakan manusia. Apalagi pada masa sulit semacam ini (zaman penjajahan),
yang mana kebanyakan interaksi usaha
anak zaman ini sudah keluar dari undang-undang syariat, padahal mencari
penghidupan begitu susahnya, dan keadaan zaman pun telah rusak. Nikah kemudian menjadi
sebab masuk pada sesuatu yang dilarang itu, yakni dengan memberi nafkah
sesuatu yang haram. Inilah dampak
negatif pernikahan yang menimpa para pelakunya.
Dengan
demikian seorang yang membujang bebas dari dampak negatif ini, sedangkan seorang yang sudah menikah, dengan sebab pernkahan itu boleh jadi
masuk pada aspek keburukan, kemudian ia mengikuti hasrat keduniaan istrinya; menjual akhiratnya dengan dunia.
Kedua,
ceroboh dan sembrono melaksanakan hak-hak istri dan keluarga. Karena suami itu
adalah pemimpin di rumah tangganya, sedangkan anggota keluarganya itu di bawah
kepemimpinannya dan ia
bertanggungjawab atas anggota keluarganya.
Ketiga,
boleh jadi istri dan anak itu merepotkan dan membuatnya sibuk sehingga
menjauhkan suami dari taat pada Allah dan menariknya untuk memaksa diri mencari
harta dunia, mengumpulkan harta, menyimpannya untuk keluarga, memburu
kebanggaan, kemewahan, dan pamer harta
benda.
Setiap
apa pun, misalnya keluarga, harta, anak keturunan yang dapat menyibukkan
manusia sehingga ia jauh dari ketaatan pada Allah, maka itu semua adalah bahaya
atau dampak negatif, dan merupakan
kejelekan bagi yang mempunyai hal demikian itu.
Barang
siapa yang dapat mengumpulkan
dalam arti menjaga manfaat-manfaat atau dampak positif
pernikahan, dan ia dapat menegasikan dampak negatif pernikahan, maka ia
disunnahkan untuk menikah. Tetapi barang siapa yang tidak dapat memenuhi hal
itu, maka meninggalkan pernikahan alias
membujang
adalah lebih utama. Tapi jika kedua hal itu sama-sama berimbang, antara dampak positif dan negatif, maka
hendaknya ia meneliti secara sungguh-sungguh, dan hendaknya ia melakukan hal
yang paling mendominasi dari dua hal tersebut.
Kesepuluh,
adalah sunnah ketika menikah itu diniatkan sebagai mengikuti sunnah Rasulullah,
menjaga agama, mendapatkan keturunan, dan beberapa manfaat yang telah kami
sebutkan. Dengan demikian nikah itu mendatangkan pahala jika seseorang berniat
taat, misalnya agar pernikahan itu dapat menjaga kehormatannya, dan mendapatkan keturunan.
Hendaknya
akad penikahan dilangsungkan di masjid, sesuai dengan hadits marfu’ riwayat At-Turmudzy dari Sayyidatina
‘Aisyah
اعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد
“Umumkan pernikahan ini, dan jadikan (akad nikah) itu di
masjid-masjid.”
Hendaknya pernikahan itu dilangsungkan
pada awal siang hari Jum’at, karena ada hadits yang terkenal (masyhur).
“Ya Allah berkahilah pada umatku yang menyelenggarakan
urusannya di pagi hari.”
Hendaknya sedapat mungkin pernikahan itu dilaksanakan pada bulan Syawwal. Sebenarnya hukum
pernikahan yang diselenggarakan di luar bulan Syawwal itu menyamai pernikahan
yang diselenggarakan di bulan Syawal.
Jika ada sebab tertentu yang menyebabkan pernikahan
diselenggarakan di luar bulan Syawal, maka laksanakan saja pernikahan itu.
Bahkan juga boleh-boleh saja menganjurkan pernikahan pada
bulan Shafar. Az-Zuhri meriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah menikahkan
putri beliau yakni Fathimah Az-Zahra’ dengan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib pada
bulan Shafar, tepatnya pada tanggal 12 Shafar.
Kesebelas, disunnahkan menghadirkan atau mengundang segolongan
atau sekelompok orang-orang ahli kebaikan dan ahli takwa karena ada tuntunan
agama untuk mengumumkan atau memproklamirkan pernikahan secara terang-terangan.
Dengan mengundang para ahli kebaikan dan ahli takwa itu berarti menyemarakkan
pernikahan. Menyemarakkan atau meramaikan pernikahan tidak bisa tercapai
kecuali dengan mengumpulkan atau menghadirkan sekelompok manusia, terutama para
ahli kebaikan dan takwa karena mengharap tercapainya keberkahan dengan
kehadiran mereka ini.
Keduabelas, disunnahkan dalam prosesi akad nikah ada
khotbah dari wali mempelai perempuan (istri) atau yang mewakili. Yang demikian
ini sesuai dengan hadits bahwa Rasulullah ketika menikahkan putrinya, yakni
Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib beliau berkhotbah sebagai
berikut:
“Segala puji bagi Allah Dzat yang dipuji karena limpahan
nikmatnya, yang disembah karena kudrat-Nya, yang ditaati karena kekuasaan-Nya,
yang ditakuti karena siksa dan kemarahan-Nya, yang perintah-Nya langsung untuk
langit dan bumi-Nya, Dzat yang menciptakan makhluk dengan kudrat kekuasaan-Nya,
yang membedakan para makhluk dengan hukum-hukum-Nya, memuliakan makhluk dengan
agama-Nya, juga memuliakan mereka dengan nabi-Nya, Muhammad.
Sesungguhnya Allah, Yang Maha Bagus Nama dan Maha Luhur,
telah menjadikan perjodohan sebagai sebab yang melekat dan sesuatu yang
terpastikan. Dengan pernikahan itu Allah mengokohkan persaudaraan, dan menetapkan
keberadaan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 54.
uqèdur
Ï%©!$#
t,n=y{
z`ÏB
Ïä!$yJø9$#
#Z|³o0
¼ã&s#yèyfsù
$Y7|¡nS
#\ôgϹur
3 tb%x.ur
y7/u
#\Ïs%
ÇÎÍÈ
Artinya, “Dan Dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”.
Perintah Allah berjalan pada qadha’-Nya, dan qadha-Nya
berjalan pada qadar-Nya. Pada tiap-tiap qadha’ ada qadar-Nya, pada tiap-tiap
qadar ada ajal, pada tiap-tiap ajal ada
kitab (catatan). Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, pada
sisi-Nya ada ummul kitab (induk catatan).
Segala puji bagi Allah, kami memuji, memohon pertolongan,
dan memohon ampun. Kami memohon perlindungan pada Allah dari keburukan diri
kami, dan kejelekan perbuatan-perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh
Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, barangsiapa yang disesatkan
Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk padanya.
Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah
melainkan Allah, dalam keesaan yang tanpa sekutu. Saya juga bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah memberi shalawat, salam pada
Nabi, juga pada keluarga dan sahabatnya.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
¨,ym
¾ÏmÏ?$s)è?
wur
¨ûèòqèÿsC
wÎ)
NçFRr&ur
tbqßJÎ=ó¡B
ÇÊÉËÈ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam.” (Q.S Ali Imran:102).
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qà)®?$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB
<§øÿ¯R
;oyÏnºur
t,n=yzur
$pk÷]ÏB
$ygy_÷ry
£]t/ur
$uKåk÷]ÏB
Zw%y`Í
#ZÏWx.
[ä!$|¡ÎSur
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
Ï%©!$#
tbqä9uä!$|¡s?
¾ÏmÎ/
tP%tnöF{$#ur
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3øn=tæ
$Y6Ï%u
ÇÊÈ
Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 01).
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
(#qä9qè%ur
Zwöqs%
#YÏy
ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁã
öNä3s9
ö/ä3n=»yJôãr&
öÏÿøótur
öNä3s9
öNä3t/qçRè
3 `tBur
ÆìÏÜã
©!$#
¼ã&s!qßuur
ôs)sù
y$sù
#·öqsù
$¸JÏàtã
ÇÐÊÈ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar, niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan
Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab:70-71).
Amma ba’du
Sesungguhnya segala persoalan itu ada dalam kekuasaan
Allah. Apa yang dikehendaki-Nya telah ditentukan. Allah juga telah memberi
keputusan apa yang dikehendaki-Nya. Tak ada yang dapat mengakhirkan apa yang
telah didahulukan-Nya, dan tak ada pula yang dapat mendahulukan apa yang Allah
akhirkan. Tiadalah kedua orang bertemu dan berpisah kecuali dengan qadha dan
qadar dari Allah.”
Kemudian setelah menyampaikan khotbah sebagaimana
tersebut di atas khatib hendaknya mengakhiri khotbah nikah dengan berucap:
“Dan sesungguhnya di antara apa yang ditentukan dan
ditakdirkan Allah Ta’ala adalah ketika seorang lelaki melamar perempuan,
kemudian wali perempuan itu atau yang mewakili akan menikahkan sang lelaki
kepada perempuan itu dengan mas kawin atau yang disebut sebagai mahar (al-shadaq)
menurut apa yang diperintahkan Allah dengan mendampingi secara bagus atau
berpisah juga dengan cara yang baik. Aku cukupkan perkataanku ini, dan aku
memohon ampun pada Allah Yang Maha Agung, untukku, para hadirin semua, juga
kepada kedua orang tuaku, kepada para guru-guruku, dan kepada segenap kaum
muslimin. Maka hendaknya Panjenengan semua memohon ampun pada Allah, karena Ia
adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Ketiga belas. Wali disunahkan melakukan lamaran terlebih
dahulu yang sebelumnya didahului dengan khotbah lamaran, begitu juga akad ijab
qabul yang didahului dengan khotbah pernikahan. Para murid Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa khotbah itu
cukup dengan ucapan hamdalah, shalawat, salam
kepada Rasulullah Nabi Muhammad,
dan berwasiat ketakwaan. Khatib berkhotbah:
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول
الله أوصيكم عباد الله ونفسى بتقوى الله أما بعد فقد جئتكم
خاطبا كريمتكم او فتاتكم فلانة
“Dengan menyebut nama Allah, segala puji juga bagi Allah,
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah. Saya
menyampaikan wasiat kepada kalian wahai para hamba Allah, juga kepada diri saya
sendiri, untuk selalu bertakwa kepada Allah.
Amma ba’du
Sungguh saya datang pada kalian dengan tujuan melamar si
fulanah putri kalian.
Jika khatib itu bertindak sebagai wakil maka ia akan
mengatakan, “Datang pada kalian orang yang mewakilkan pada saya atau saya
datang pada kalian sebagai wakil dengan tujuan melamar putri kalian.
Kemudian wali nikah atau yang mewakili berkhotbah dan
seterusnya, kemudian ia berkata:
“ Engkau bukanlah seorang yang dibenci.”
Keempatbelas. Sebelum akad nikah, seseorang yang
menikahkan (al-muzawwij) dianjurkan berkata :
“Saya menikahkan engkau menurut apa yang diperintahkan
Allah yaitu dengan merujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara
yang juga baik.”
Setelah selesai akad nikah, hendaknya orang yang
menikahkan mendoakan kebaikan, dan keberkahan kepada kedua mempelai. Hal ini
sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ketika
mendoakan kedua mempelai agar cocok, dan bergaul dengan baik, beliau
mengucapkan
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَ بارك عليك و جمَع بينكُما
في خير
“Semoga Allah memberkahimu, dan memberkahi
atasmu, serta menyatukan kebaikan atas kalian berdua.”
Kelimabelas. Al-Allamah Syihabuddin Al-Qalyuby berkata
dalam bab shalat sunnah, dari catatan kakinya (hasyiahnya) atas kitab syarah Al-‘Allamah
Al-Mahally: “Disunahkan agar suami-begitu juga istri-melaksanakan shalat dua
rakaat sebelum akad nikah, juga bagi orang yang akan dipertemukan dalam resepsi
pernikahan sebelum melaksanakan malam pertama (hubungan suami istri).”
Bab
Dua
Penjelasan tentang Rukun Nikah dan Selainnya
Rukun Nikah itu ada lima yaitu
1.
Shighat (ijab qabul)
2.
Istri
3.
Suami
4.
Wali
5.
Dua saksi
Rukun pertama adalah shighat (pernyataan ijab qabul). Shighat ini sudah mecukupi
misalnya ketika wali menyatakan (sebagai pernyataan ijab):
زَوَّجتُكَ فُلانَةً او أنكحتكها
“Aku nikahkan engkau dengan fulanah.”
Kemudian suami menjawab (qabul):
تَزوجْتُهَا او أنكحتُهَا او قبلت نكاحها او
تزويجها او النكاح او التزويج او رضيت نكاحها او هذا النكاح
"Saya menikah dengannya atau saya menerima
nikahnya atau saya rela menikah dengannya atau saya rela dengan pernikahan ini."
Imam As-Syafi’i dalam kitab al-Umm berkata:
“Tidak akan terjadi pernikahan selamanya kecuali wali
mengucapkan:
قدْ زَوَّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا
“Sungguh saya
menikahkan kamu dengannya."
Kemudian suami menjawab:
قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا اَوْ قَبِلْتُ
تَزْوِيْجَهَا
"Sungguh saya menerima nikahnya."
Atau pelamar (calon suami) mengucapkan:
زَوِّجْنِيْهَا اَوْ أَنْكِحْنِيْهَا
"Nikahkanlah
aku dengannya."
Kemudian wali menjawab:
قَدْ زَوّجْتُكَهَا اَوْ أَنْكَحْتُكَهَا
"Sungguh
aku nikahkan engkau dengannya."
Kemudian secara bersamaan pelamar dan wali menyebut nama
calon mempelai perempuan beserta garis nasabnya (fulanah binti fulan; fulanah
putri dari fulan).
Seandainya mempelai laki-laki (suami) berucap:
"Saya
ingin menikahi putrimu atau saya menerima pernikahannya."
Kemudian wali berucap: "
“Saya menikahkan kamu dengannya.”
Maka
pernikahan dianggap sah, karena qabul itu hanyalah salah satu dari dua sisi
akad nikah. Tidak ada perbedaan antara mendahulukan qabul (penerimaan) atau
mengakhirkannya.
Di dalam syarah kitab Ihya Ulumiddin dijelaskan: "Tidak dipersyaratkan kesamaan penggunaan kata atau
kalimat akad pernikahan. Jadi kalau salah seorang memakai kata “zawwajtuka”
(saya kawinkan engkau), dan yang lain menjawab “qabiltu nikahaha” (saya
terima nikahnya), maka pernikahan tetap sah. Ini sesuai dengan madzhab Imam
Syafi’i."
Walaupun mempelai pria dan wali masing-masing dapat
mengucapkan akad ijab qabul dalam bahasa Arab dengan baik, pernikahan itu terkategori
sah, menurut pendapat yang paling benar, dengan menggunakan kata atau kalimat
dari beragam masing-masing bahasa dunia (selain bahasa Arab) yang searti dengan
kata “tazwij” dan “nikah” , dengan
syarat masing-masing orang, yakni wali nikah dan mempelai pria memahami bahasa
yang disampaikan satu sama lainnya, dan dua saksi pun memahami ucapan dari wali
dan mempelai pria tersebut.
Ijab dan qabul tidaklah sah dengan tulisan atau isyarat
yang jelas difahami. Tetapi ijab qabul dengan isyarat yang jelas itu sah jika
dilakukan oleh orang yang bisu, sebagaimana juga sah jual beli dan perceraian
orang yang bisu dengan memakai isyarat.
Ijab qabul itu dipersyaratkan bersambung tanpa putus,
karena jika ada jeda perkataan lain, maka ijab qabul itu menjadi tidak sah.
Dipersyaratkan juga agar ijab yang diucapkan oleh wali
dan qabul yang diucapkan oleh suami (mempelai pria) itu dapat didengarkan
dengan baik oleh pihak masing-masing. Dua saksi pun harus pula bisa
mendengarkan. Sebab kalau tidak maka akad nikah menjadi tidak sah.
Dipersyaratkan pula agar orang yang mengijabi (al-mujib
atau wali), dan orang yang menerima (al-qabil atau mempelai pria) tetap
dalam keadaan patut (baqa’ul ahliyyah) sampai pada sempurna atau
selesainya akad nikah.
Jadi, jika seorang wali mengucapkan ijab kemudian ia gila
atau epilepsi, atau hak menjadi wali hilang karena ada suatu sebab sebelum
mempelai pria menerima atau mengucap qabul, maka akad nikah menjadi batal.
Menjadi batal pula akad, kalau wali meninggal sebelum mempelai pria menerima
atau mengucapkan qabul.
Kalau perempuan yang mengizinkan dilaksanakannya
pernikahan itu mencabut izinnya, atau ia gila, atau murtad, atau epilepsi
sebelum qabul dari mempelai pria, maka qabul dari suami tidaklah dapat
diteruskan atau tidak sah.
Adapun cara mengucapkan shighat pernikahan yang
diwakilkan adalah ketika wakil dari wali berkata pada mempelai pria (zawj):
“Zawwajtuka fulanatan binta fulanin muwakkili (saya
nikahkan engkau dengan fulanah putri fulan dalam keadaan saya menjadi
wakilnya).”
Ungkapan ijab dengan menambahkan kata muwakkili
ini berkenaan ketika saksi dan mempelai pria belum atau tidak mengetahui adanya
perwakilan dari wali. Jika keduanya sudah tahu adanya perwakilan ini, maka
tentu tidak perlu ada tambahan kata muwakkili dan kemudian mempelai pria
mengucapkan qabul.
Jika mempelai pria diwakilkan dan saksi tidak tahu
tentang perwakilan ini, maka wali berkata pada wakil:
“Zawwajtu binti fulanan muwakkilaka” (saya
nikahkan anak perempuan saya dengan fulan yang mewakilkan pernikahan ini pada
engkau). Jika saksi sudah tahu, maka wali tidak perlu menambahkan kata muwakkilaka.
Jika wali berkata pada wakil mempelai pria:
“Zawwajtuka binti” (saya nikahkan engkau dengan
anak saya)”, kemudian wakil menjawab:
”Qabiltu nikahaha li muwakkili” (saya terima
nikahnya untuk orang yang mewakilkan pada saya), maka akad nikah dianggap fasad
atau rusak atau tidak sah, karena tidak ada kesesuaian antara ungkapan ijab dan
qabul.
Kalau wakil mempelai pria itu menjawab (berqabul) dengan:
“Qabiltu nikahaha” (saya terima nikahnya), maka pernikahan itu sah bagi
wakil itu, tidak bagi yang mewakilkan.
Agar sah, disyaratkan dalam pernikahan yang diwakilkan,
hendaknya wali atau wakil wali berucap ijab pada wakil mempelai pria: “Zawwajtu
fulanatan binta fulanin fulanan” (saya nikahkan fulanah anaknya fulan
kepada si fulan). Hendaknya wali atau wakil wali memberi nama, identitas atau
pembeda tertentu kepada mempelai pria, yang mana pembeda itu menjadi penjelas
yang membedakan dengan identitas lain atau wakilnya, misalnya dengan mengijab: “Zawwajtu
fulanah binta fulanin lifulanin bin fulan” (saya nikahkan fulanah anaknya
fulan kepada fulan anaknya fulan), atau “Zawwajtu muwakkilaka fulanan
fulanatan binta fulanin” (saya nikahkan orang yang menjadikan kamu wakil
yaitu fulan kepada fulanah binti (anak) fulan.
Sehingga tidak boleh berijab kepada wakil mempelai pria
dengan: “Zawwajtukaha” (saya nikahkan engkau dengannya), atau dengan
kalimat yang senada.
Disyaratkan agar wakil dari mempelai pria mengucapkan qabul
dengan: “Qabiltu nikahaha li muwakkili fulanin” (saya terima nikahnya
fulanah untuk orang yang mewakilkan pada saya, yaitu si fulan), atau “Qabiltu
nikahaha li fulanin ibni fulanin” (saya terima nikahnya si fulanah untuk si
fulan bin (anak) fulan).
Hendaknya diperhatikan, bahwa kalau tidak memakai kalimat
semacam ungkapan itu, maka akad nikah tidak sah.
Rukun kedua adalah istri atau mempelai putri.
Syaratnya ada empat.
Pertama, istri adalah seorang yang halal, artinya seorang
yang sedang tidak melakukan ihram. Tidak sah menikahi perempuan yang muhrimah
atau sedang ihram.
Kedua, tertentukan atau jelas. Tidak sah menikahi salah
satu dari dua perempuan, tanpa ditentukan salah satunya.
Ketiga, istri adalah orang yang tidak sedang terikat
pernikahan dengan orang lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah. Tidak sah
menikahi perempuan yang sudah bersatus menikah atau perempuan yang sedang dalam
masa ‘iddah (masa menunggu) dari suaminya terdahulu.
Keempat, istri adalah benar-benar seorang perempuan.
Tidak sah menikahi seorang waria.
Rukun ketiga adalah suami atau mempelai pria
Syaratnya ada lima
Pertama, suami adalah seorang yang halal, artinya seorang
yang sedang tidak melakukan ihram. Tidak sah menikahi laki-laki yang muhrim
atau sedang ihram, walaupun diwakilkan pada orang lain.
Kedua, kehendak sendiri. Maka tidak sah pernikahan
laki-laki yang dipaksa tanpa ada alasan yang dibenarkan (mukrahin bighairi
haqq). Kalau ia dipaksa menikah tetapi dengan cara yang benar maka
pernikahan itu sah, misalnya memaksa suami menikahi perempuan yang dicerainya
dengan thalaq bain tetapi bukan thalaq tiga, dalam keaadan teraniaya
dalam pembagian waktu antara istri (madzlumatun fil qismi).
Ketiga, Kedua,
tertentukan atau jelas. Tidak sah menikahi salah satu dari dua laki-laki, tanpa
ditentukan salah satunya. Misalnya wali mengucapkan: “Zawwajtu binti
ahadakuma” (saya nikahkan anakku dengan salah satu di antara kalian
berdua). Pernikahan itu tetap tidak sah, baik dalam hati wali menentukan salah
satu di antara keduanya, ataukah tidak.
Keempat, suami harus mengetahui kehalalan istri, tahu
namanya, nasabnya, dan keberadaannya. Jadi tidak sah pernikahan yang mana suami
tidak tahu menahu keadaan istri, walaupun setelah pernikahan ternyata perempuan
itu halal baginya.
Misalnya, lelaki yang menikahi perempuan yang tidak diketahui apakah
ia sedang dalam masa ‘iddah ataukah bebas dari ‘iddah, atau apakah ia saudara
perempuannya ataukah bukan, ataukah ia masih mahramnya (perempuan yang
haram dinikahi) ataukah perempuan lain (ajnabiyyah), kemudian ternyata
setelah akad nikah atau pernikahan perempuan itu jelas tidak sedang dalam masa
‘iddah, atau ia benar-benar perempuan yang bukan mahramnya, dan sebagainya.
Kelima, suami adalah sebenar-benar laki-laki, maka tidak
sah menikah dengan waria atau bencong.
Rukun yang keempat adalah wali.
Syaratnya ada sembilan.
Pertama, kehendak sendiri. Maka tidak sah pernikahan dari
wali yang dipaksa.
Kedua, baligh. Maka tidak sah perwalian anak kecil sesuai
dengan ijmak (kesepakatan) para ulama.
Ketiga, mempunyai akal. Maka tidak sah menurut ijma’ para
ulama perwalian orang gila yang terus menerus, karena berarti ia tidak bersifat
tamyiz; artinya tidak bisa membedakan kebenaran dengan kesalahan.
Kalau sifat kegilaan itu terputus-putus atau tidak
konstan, maka tidak sah juga perwalian itu menurut pendapat yang lebih kuat
dengan mempertimbangkan dominasi masa kegilaan. Sehingga wali yang lebih jauh
kekerabatannya (al-ab’ad) berhak menikahkan ketika wali yang lebih dekat
(al-aqrab) dalam masa kegilaan, bukan dalam masa kewarasan.
Keempat, sifat merdeka atau bukan budak. Maka tidak ada
perwalian bagi seorang budak menurut ijmak para ulama.
Kelima, sifat
laki-laki.maka tidak ada perwalian bagi perempuan. Maka akad pernikahan yang
dilakukan perempuan tidaklah sah; baik ijab maupun qabulnya. Tidak sah bagi
dirinya, juga tidak sah bagi selainnya.
Keenam, sifat adil. Maka tidak ada perwalian bagi orang
yang fasiq yang bukan al-Imam al-A’dzam (raja atau penguasa umum).
Karena sifat kefasikan itu adalah bentuk kekurangan yang bisa mencederai
persaksian, karena itulah orang fasik tidak boleh menjadi wali, sebagaimana
budak. Hal ini adalah pandangan madzhab Imam Syafi’i. Tetapi mayoritas ulama
madzhab Syafi’i periode akhir (aktsaru mutaakhkhiri al-Ashhab) memilih pendapat
kebolehan seorang fasiq menjadi wali nikah. An-Nawawi sebagaimana Ibnu Shalah,
dan As-Subki memilih pendapat yang difatwakan Al-Ghazali yang menetapkan
kebolehan perwalian bagi orang yang fasik daripada hal perwalian itu jatuh ke
tangan hakim yang juga fasik.
Ketujuh, Islam. Maka tidak ada perwalian bagi orang kafir
untuk perempuan muslim. Tetapi orang kafir boleh menjadi wali bagi perempuan
yang kafir. Hal ini sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 73:
tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& CÙ÷èt/
Artinya, “Adapun orang-orang yang kafir,
sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain...”
Kedelapan, bukan seorang yang cacat pemikiran dan
penalarannya tersebab pikun atau gila (idiot; lambat pikiran). Maka tidak boleh
ada perwalian bagi orang yang pikirannya tidak beres tersebab idiot dari
asalnya atau karena ada sebab yang baru, atau karena sakit, atau karena tua.
Karena orang semacam ini tidak akan mampu meneliti keadaan perjodohan suami
istri, dan tidak bisaa mengetahui kesepadanan (kufu) para pasangan.
Intinya mereka yang disibukkan oleh sakit sehingga tidak bisa berpikir secara
jernih.
Kesembilan, bukan orang yang dibatasi atau dilarang sebab
kecerobohan atau keborosannya. Maka orang semacam ini tidak boleh menjadi wali,
misalnya orang yang sudah baligh tetapi ia belum pintar atau cekatan, atau
orang yang memboroskan harta benda setelah masa kematangannya, kemudian ia
dilarang. Karena kekurangannya itulah maka ia tidak bisa mengatur urusan pribadinya,
maka ia tidak boleh mengurusi perwalian orang lain.
Ada pendapat, bahwasanya orang semacam ini dapat menjadi
wali nikah, karena angan pikirnya masih sempurna kalau terkait dengan
pernikahan. Pelarangan ini tujuannya agar hartanya dapat terjaga dengan baik.
Rukun yang kelima adalah dua saksi.
Syaratnya ada sembilan.
Pertama, Islam. Maka tidak sah pernikahan di hadapan
saksi dua kafir, atau satunya muslim satunya kafir. Baik yang dinikahkan itu
seorang perempuan muslim ataukah kafir dzimmi (non muslim yang terikat
perjanjian damai dengan pemerintah muslim). Karena kafir itu tidak termasuk
ahli atau layak sebagai saksi.
Kedua, baligh.
Ketiga, berakal.
Keempat, merdeka.
Maka tidak sah pernikahan di hadapan para anak kecil,
orang-orang gila, para budak baik murni ataukah budak yang dijanjikan
kemerdekaannya (mudabbaran aw mukataban),
Kelima, laki-laki. Maka tidak sah pernikahan di hadapan
para perempuan, dan juga di hadapan seorang lelaki dan dua perempuan, juga
tidak sah di hadapan dua waria.
Keenam, sifat adil. Maka tidak sah pernikahan di hadapan
dua orang fasiq, atau di hadapan seorang yang adil, dan seorang yang fasiq.
Ketujuh, bisa mendengar. Maka tidak sah pernikahan di
hadapan dua orang tuli, juga tidak sah di hadapan seorang yang mendengar
sedangkan satunya seorang yang tuli. Yang dimaksud dengan al-ashamm
adalah seorang yang tidak bisa mendengar sama sekali.
Kedelapan, bisa melihat. Karena perkataan atau ujaran itu
tidak bisa menjadi mantap melainkan dengan dapat dipersaksikan, dan dapat
didengar. Dengan demikian akad pernikahan tidak sah jika dihadiri dua orang
yang buta, atau seorang yang tidak bisa melihat dan seorang buta menurut salah
satu pendapat yang sahih, adapun pendapat lainnya menyatakan keabsahannya. Karena
bagaimanapun seorang buta itu secara global masih dalam kategori cakap dalam
persaksian.
Kesembilan, bisa berbicara. Maka pernikahan tidaklah sah
jika dihadiri dua orang yang bisu.
Dipersyaratkan pula, sebagai tambahan keterangan yang
telah lewat, tidak adanya pelarangan sebab kecerobohan atau keborosan, dan
mengetahui bahasa komunikasi dua pihak yang berakad (wali dan mempelai pria).
Karena itu pernikahan tidaklah sah jika saksi tidak memahami bahasa yang
digunakan kedua pihak yang berakad.
Di dalam Hasyiah Al-Bujayrami Syarah kitab al-Minhaj
disebutkan:
“Disyaratkan agar pernikahan perempuan yang bercadar itu
sah adalah kedua saksi sebelum terjadinya akad nikah dapat lebih dahulu
melihatnya. Jika perempuan ini diakadkan padahal ia dalam keadaan bercadar, dan
kedua orang saksi tidak mengetahui atau mengenalinya, maka akad itu tidaklah
sah, karena pendengaran seorang saksi atas akad pernikahan itu sebagaimana
pendengaran seorang hakim atas persaksian.”
Az-Zarkasyi berkomentar: “Maksud dipersayaratkan agar
perempuan bercadar itu dilihat dulu sebelum akad adalah ketika ia memang belum
diketahui identitasnya. Tetapi ketika perempuan bercadar itu sudah dikenali
identitasnya, maka ia tidak perlu dilihat, dan akad nikah tetap sah.”
Permasalahan ini terkategori permasalahan yang unik atau
indah yang mana para hakim sekarang ini tidak mengetahui permasalahan seperti
ini. Karena itulah mereka menikahkan perempuan bercadar yang hadir dalam akad
pernikahan tanpa dikenali identitasnya terlebih dahulu oleh para saksi. Dengan
alasan bahwa kehadiran dan keberadaan perempuan itu sudah mencukupi.
Pernyataan yang dirilis Syekh Muhammad Romly dalam fasal
tentang persaksian (as-syahadat) adalah: “Sekelompok ulama berpendapat
bahwa pernikahan perempuan yang bercadar itu tidak sah, kecuali jika kedua
saksi telah mengetahui nama, daan nasab keturunan, atau wajah.”
Syekh Ibnu Hajar dalam as-Syihab al-Qalyubi,
sebagai Hasyiah (catatan pinggir) atas Al-Jalal Al-Mahally menyatakan: “Tidak
dipersyaratkan saksi melihat perempuan yang tidak jelas identitasnya, tetapi
cukup hanya dengan menyaksikan berlangsungnya akad di antara perempuan yang
bercadar itu dengan mempelai pria.”
Penutup
Menjelaskan Hak-Hak Istri atas Suami dan Hak-Hak Suami atas
Istrinya.
Suami wajib mempergauli istri dengan cara yang baik (ma’ruf),
yakni dengan cara berbuat baik pada istri, dengan:
Pertama, memenuhi hak-hak istri berupa mahar, nafkah,
biaya rumah tangga, dan sandang dengan kerelaan, murah hati, dan perkataan yang
lembut.
Kedua, bersabar atas keburukan akhlaknya
Ketiga, menuntunnya ke jalan kebaikan dan berbagai ibadah.
Keempat, mengajarinya tentang kebutuhan pengetahuan
agama, tentang hukum kesucian, haidz, shalat yang diqadha dan yang tidak.
Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 19:
£`èdrçŰ$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Artinya “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Allah juga berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Ketika dalam haji Wada’ Nabi Muhammad setelah membaca
hamdalah, dan menyanjungkan puji pada Allah, beliau memberi nasehat sebagai
berikut:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ
شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي
الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا
هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ
إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا
وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ
تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي
كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَمَعْنَى قَوْلِهِ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ يَعْنِي أَسْرَى
فِي أَيْدِيكُمْ
Artinya,
“Dari Sulaiman Bin Amr bin Al-Ahwash yang mengatakan,
Bapakku telah mengabarkan bahwa ia menyaksikan haji wada Rasulullah. Beliau
ketika itu membaca hamdalah, memuji Allah, memberi peringatan dan nasihat.
kemudian Ia menyampaikan hadits yang mengisahkan haji wada tersebut. Dalam
nasihat tersebut Rasulullah bersabda: “Ingatlah dan berwasiatlah tentang wanita
secara baik. Sesungguhnya mereka itu bagaikan tawanan yang menjadi tanggung
jawabmu. tidaklah kamu miliki, dari mereka selain hal tersebut, kecuali
jika mereka melakukan perbuatan keji secara nyata. Jika mereka berbuat jahat,
maka jauhilah tempat tidurnya, pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Jika
mereka telah taat padamu, maka jangan lah membuat kesulitan pada mereka. Ingatlah
sesungguhnya bagimu ada hak yang menjadi tanggung jawab mereka. Bagi istrimu
juga ada hak yang menjadi tanggung jawabmu. Adapun hakmu yang menjadi tanggung
jawab mereka adalah jangan memasukan orang yang tidak kamu senangi ke kamarmu,
dan jangan lah mereka mengizinkan orang yang tidak kamu senangi berada di
rumahmu. Ingat lah bahwa hak mereka yang menjadi tanggung jawabmu adalah
berbuat baik pada mereka seperti menyediakan pakai an dan makanan untuk mereka.”
Rasulullah juga bersabda,
“Hak perempuan (istri) atas suami adalah hendaknya suami
memberi makanan ketika ia makan (memenuhi kebutuhan pangan atau konsumsi), memberi
sandang ketika ia bersandang (memenuhi kebutuhan sandang), hendaknya suami
tidak memukul wajah istri, hendaknya suami tidak mencap jelek, dan tidak
meninggalkan istri kecuali di tempat tidur.”
Rasulullah juga bersabda,
“Mana saja dan siapa saja suami yang menikahi perempuan
baik dengan mahar yang sedikit atau banyak, tetapi tidak ada dalam diri suami
itu kehendak untuk memenuhi haknya istri (maksudnya suami bermaksud menipu
istri), kemudian suami meninggal dalam keadaan tidak memenuhi hak istri, maka
suami bertemu dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan sebagai pezina.”
Rasulullah juga bersabda,
“Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan orang-orang
beriman adalah sesiapa yang akhlaknya bagus, dan yang paling lembut pada
keluarganya.”
Rasulullah juga bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah sebaik-baik kalian pada
keluarga kalian, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku.”
“Lelaki itu adalah pemimpin dalam pengaturan keluarganya,
dan ia akan ditanyai tentang tanggungan keluarganya itu, dan perempuan adalah
pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusan yang
dipimpinnya itu, dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya itu.”
Allah berfirman dalam surat Thaha ayat 132:
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷É9sÜô¹$#ur $pkön=tæ (
Artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
“Barang siapa yang tidak memerintah istrinya shalat, dan
juga ia tidak mengajari istri perihal pengetahuan keagamaan maka sungguh ia
telah berkhianat pada Allah dan Rasul-Nya.”
Nabi juga bersabda,
“Tidaklah seseorang itu bertemu dengan Allah (di hari
kiamat) dengan membawa dosa yang lebih besar daripada kebodohan keluarganya.”
Hak-Hak Suami atas Istri juga banyak. Di antaranya:
Pertama, wajib bagi istri untuk menaati suami kecuali
dalam hal yang tidak halal. Istri hendaknya tidak berpuasa, dan tidak keluar
dari rumahnya kecuali dengan izin dan kerelaan suami.
Kedua, istri hendaknya bersungguh-sungguh mencari
kerelaan suami. Hendaknya ia menjauhi hal membuat marah suami, sekuat tenaga;
semampunya.
Ketiga, hendaknya istri tidak menghalangi suami untuk
dapat bersenang-senang atau kemesraan yang sifatnya dibolehkan agama.
Keempat, hendaknya istri mengakui bahwasanya ia seperti
budak sahaya, sehingga ia tidak bertindak dalam pengelolaan harta suami
melainkan dengan izinnya. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam
pengelolaan harta milik pribadi istri pun, ia harus seizin suami, karena ia
bagai orang yang dihalangi dari pengelolaan harta.
Kelima, hendaknya istri mendahulukan hak-hak suami
daripada hak-hak kerabatnya, bahkan daripada hak-hak pribadi istri dalam
sebagiannya.
Keenam, hendaknya istri selalu bersiap-siap untuk bersuka
ria (bermesraan) dengan suami sesuai dengan kemampuan istri, misalnya
menyiapkan hal-hal yang menjadi sebab kebersihan.
Ketujuh, hendaknya istri tidak membanggakan atau
menyombongkan kecantikannya dan tidak mencela kelemahan atau keburukan suami.
Kedelapan, istri senantiasa bersikap malu pada suami,
menjaga pandangan mata di hadapan suami, taat atas perintahnya, dan diam ketika
suami berbicara, berdiri ketika suami datang dari perjalanan, dan ketika hendak
keluar rumah (bepergian).
Kesembilan, hendaknya istri menawarkan dirinya ketika mau
tidur, menjaga amanah ketika suami bepergian dalam ranjang dan hartanya, selalu
menjaga wewangian untuk suami, memelihara mulut dengan wewangian.
Kesepuluh, selalu berhias atau menjaga penampilan di
hadapan suami, dan tidak berhias ketika suami pergi.
Kesebelas, menghormati keluarga dan kerabat suami;
melihat hal yang kecil dari milik suami sebagai hal besar atau bernilai;
menuntut kerelaan suami sekuat tenaga, karena suami adalah surga dan nerakanya.
Nabi Muhammad bersabda,
“Ketika perempuan shalat lima waktu, berpuasa penuh dalam
bulan Ramadhan, menjaga alat kelamin atau kehormatannya, menaati suaminya, maka
dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga dari pintu mana pun yang engkau
kehendaki.”
Adalah sahih bahwa Nabi pernah bersabda kepada salah
seorang perempuan yang telah menikah,
“Bagaimana engkau memosisikan dirimu kepada suamimu?
Perempuan itu menjawab: “Saya tidak sembrono untuk melayani suami saya, kecuali
terhadap sesuatu yang aku tidak mampu. Rasulullah kemudian menimpali: Bagaimana
bisa engkau berbuat demikian. Suamimu adalah surgamu dan nerakamu.”
Dari ‘Aisyah sesungguhnya ia pernah bertanya pada
Rasulullah, “Manusia siapakah yang paling besar haknya atas perempuan? Kemudian
Nabi menjawab, “Suaminya.” Lalu saya (‘Aisyah) bertanya, “ Manusia manakah yang
paling besar haknya atas seorang lelaki? Nabi menjawab, “Ibunya.”
Diriwayatkan bahwasanya seorang perempuan bertanya,
“Wahai Rasulallah sesungguhnya saya adalah delegasi dari para perempuan untuk
bertanya padamu kemudian ia menyebutkan keutamaan para lelaki yang dengan
jihadnya mendapatkan pahala dan rampasan, kemudian perempuan itu bertanya, “ (Itu
bagian dari para lelaki), Lalu apa bagian kami sebagai perempuan? Rasulullah
menjawab, “Sampaikanlah pada para perempuan yang kamu temui bahwa sesungguhnya
ketaatan pada suami, dan mengakui hak-haknya para suami itu sepadan dengan apa
yang diperolah para laki-laki, akan tetapi sedikit di antara kalian yang mampu
berbuat seperti ini.”
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya seorang lelaki datang
bersama puterinya menuju Rasulullah, kemudian lelaki itu berkata, “Sesungguhnya
puteriku ini enggan menikah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Taatilah ayahmu.”
Kemudian gadis itu berkata, “Demi dzat yang mengutus Engkau dengan membawa
kebenaran, saya tidak mau menikah hingga engkau menceritakan padaku tentang apa
hak seorang suami atas istrinya. Kemudian Nabi Muhammad menjawab, “Hak suami
atas istri, seandainya di tubuh suami ada luka, kemudian istrinya menjilati
luka itu, atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya
menjilatinya, maka hal itu belum bisa
memenuhi hak suami.” Perempuan itu kemudian berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Nabi bersabda, “
Janganlah menikahkan para putri kalian
kecuali dengan kerelaannya.”
Imam At-Thabarany meriwayatkan bahwasanya sungguh hak
suami atas istri jika suami menginginkan diri tubuh istri padahal istri sedang
di atas pelana kuda, maka hendaknya istri tidak menghalangi keinginan suami. Di
antara hak suami atas istri adalah hendaknya ia tidak berpuasa sunnah kecuali
dengan kerelaannya. Jika istri bersikeras puasa, maka lapar dan dahaganya tidak
akan diterima pahalanya. Istri juga tidak boleh keluar rumah kecuali atas
kerelaan suami. Kalau ia bersikeras, maka malaikat langit dan malaikat bumi,
malaikat rahmat, dan malaikat adzab akan melaknatnya hingga ia pulang.
Adalah shahih hadits yang menyatakan, “Allah Ta’ala
tidak melihat pada perempuan yang tidak bersyukur pada suaminya, sedangkan ia masih
butuh pada suaminya.”
Ada keterangan dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda,
“Empat perempuan masuk surga, dan empat perempuan lainnya
masuk neraka. Kemudian Nabi menyebutkan empat perempuan yang masuk surga.
Pertama, perempuan yang menjaga diri, taat pada Allah dan
suaminya;
Kedua, perempuan yang mempunyai banyak anak, yang sabar,
yang menerima (qana’ah) nafkah yang sedikit dari suaminya:
Ketiga, perempuan yang mempunyai sifat malu. Jika suami
pergi, ia menjaga diri dan hartanya. Jika suami ada di rumah ia menahan
lidahnya (tidak banyak bicara);
Keempat, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan ia
mempunyai banyak anak kecil. Ia menahan diri karena anak-anaknya, ia mendidik
dan berbuat kebaikan pada anak-anaknya, dan ia tidak menikah lagi karena takut
anak-anaknya tersia-siakan.”
Kemudian Nabi bersabda tentang empat perempuan yang masuk
neraka.
Adapun empat perempuan yang masuk neraka adalah,
Pertama, perempuan yang lidahnya berkata kotor pada
suaminya. Jika suaminya pergi ia tidak bisa menjaga dirinya. Ketika suaminya
ada di rumah ia akan menyakiti suaminya dengan lidah kata-katanya;
Kedua, perempuan yang membebani suami dengan sesuatu yang
ia tidak mampu;
Ketiga, perempuan yang tidak menutupi dirinya dari para
lelaki, keluar rumah dalam keadaan terang-terangan (berhias berlebihan);
Keempat, perempuan yang tidak mempunyai tekad kecuali
makan, minum, tidur. Tidak mempunyai kesenangan untuk shalat, tidak taat pada Rasulullah,
juga tidak taat pada suaminya.”
Jika perempuan mempunyai sifat-sifat ini, maka ia
dilaknat sebagai bagian ahli neraka, kecuali kalau ia melakukan tobat.
Sayyidina Ali KaramaLlah wajhah bercerita,
“Saya bersama Fathimah masuk menemui Rasulullah. Kami
menemukan beliau sedang dalam keadaan menangis yang sangat. Aku bertanya,
“Tebusanmu ayah dan ibuku wahai Rasulallah. Apa yang membuatmu menangis? Nabi
menjawab, “wahai Ali, pada malam aku diisrak mikrajkan saya melihat para
perempuan digantung rambutnya dalam keadaan otaknya mendidih. Saya juga melihat
perempuan yang digantung lidahnya sedangkan air panas diguyurkan pada
kerongkongannya. Saya juga melihat perempuan yang diikat kedua kakinya hingga
dua pentil buah dadanya, diikat kedua tangannya hingga ubun-ubunnya. Allah
sungguh mengirimkuasakan ular-ular, dan kala jengking. Saya melihat perempuan
yang bentuk kepalanya babi, badannya berupa himar dan ia dikenai beribu-ribu
siksaan. Saya juga melihat perempuan dalam bentuk anjing, sedangkan api masuk
melalui mulutnya, dan keluar dari anusnya sedangkan para malaikat memukul
kepalanya dengan paku-paku neraka.
Kemudian Fathimah az-Zahra bangkit dan berkata, “Wahai kecintaanku,
dan permata hatiku, apa yang diperbuat para perempuan itu sehingga mereka
terkenai siksaan ini?” Rasulullah kemudian menjawab, “Wahai putri kesayanganku,
adapun perempuan yang diikat rambutnya, karena ia tidak menutupi rambutnya di
hadapan para lelaki, adapun perempuan yang diikat lidahnya karena ia menyakiti
suaminya, adapun perempuan yang diikat payudaranya karena ia memasukkan pria
asing ke selimut ranjang suaminya, adapun perempuan yang kaki sampai
payudaranya diikat, juga kedua tangan sampai ubun-ubunnya, maka sungguh Allah
menguasakan ular-ular dan kalajengking karena mereka tidak mandi junub, tidak
mandi besar karena haidz, meremehkan shalat, adapun perempuan yang kepalanya
serupa kepala babi sedangkan badannya adalah himar, karena ia tukang hasut,
pandai berdusta, adapun perempuan yang seperti bentuk anjing sedangkan api
masuk melalui mulutnya dan keluar melalui anusnya hal itu karena ia banyak
mengungkit-ungkit kebaikannya di masa lalu, dan amat pendengki. Wahai putriku,
sungguh sebuah celaka (neraka wail) bagi perempuan yang mendurhakai suaminya.”
Pernyataan ringkas tentang etika perempuan adalah,
Hendaknya ia duduk di dalam rumahnya, istiqamah menekuni
kesibukan rumah tangga, sedikit bicara pada para tetangga, sedikit masuk ke
rumah mereka kecuali ada hajat yang meniscayakan untuk itu, menjaga suami baik
ketika pergi maupun di hadapannya, mencari kesenangan suami dalam segala aspek,
tidak keluar rumah kecuali dengan izinnya, ketika keluar dari rumah dengan izin
suami, keluarnya tidak dengan berhias berlebihan, yakni dengan selimut yang
lusuh, baju yang tidak mencolok, menundukkan mata ketika berjalan, tidak mengumbar
pandangan ke kanan dan kiri, tidak
mengenali teman suaminya, mengingkari orang yang menyangka bahwa ia
mengenalnya, tekadnya adalah membagusi keadaannya dan mengatur rumah tangganya,
penuh istiqamah dalam shalat dan puasanya, tidak bertanya dan tidak menjawab
dengan perkataan bagi orang yang minta izin di depan pintu rumah sedangkan
suaminya sedang tidak ada di rumah, menjaga
diri agar lelaki asing tidak mendengar suaranya atau mengetahui
identitasnya, kasih sayang terhadap anak-anaknya, menjaga rahasia, tidak
mengumbar kata yang mencela anak-anak dan membantah suaminya,
Sungguh pernah dikatakan, ketika pada perempuan itu telah
jelas tiga hal berikut, maka ia disebut sebagai pelacur (perempuan yang
tercela), yaitu: keluar di siang hari dalam keadaan terang-terangan (berhias
berlebihan), bebas melihat para lelaki asing, memekikkan suara sehingga terdengar
oleh para lelaki asing walaupun ia adalah seorang perempuan yang shalehah, karena
hal demikian ini adalah sebentuk penyerupaan dengan perempuan yang jelek.
Rasulullah telah bersabda, “Barang siapa menyerupai suatu
golongan, maka ia termasuk dalam golongan itu.”
Rasulullah pernah bertanya kepada putrinya, yaitu
Fathimah, “Sesuatu apakah yang paling baik bagi perempuan?” Fathimah menjawab,
“Hendaknya perempuan tidak melihat lelaki, dan hendaknya lelaki tidak melihat
perempuan.” Kemudian Rasulullah merangkul Fathimah, dan beliau berkata,
“Keturunan yang sebagiannya adalah berasal dari sebagian yang lain.” Rasulullah
menganggap bagus pernyataan Fathimah.
Allah Yang Maha Tahu kebenaran sejati. Kepada-Nya tempat
kembali. Semoga shalawat serta salam Allah senantiasa tercurah pada junjungan kita,
Nabi Muhammad, seorang yang membuka hijab penghalang, juga untuk para keluarga,
para sahabatnya, serta sesiapa yang meniti jalan manusia yang bertobat.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Langganan:
Postingan (Atom)